Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manajemen Berbasis Sekolah : Implementasi, Ciri, Konsep, Karakteristik dan Langkah Penerapan


Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah


Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia pendidikan, di mana dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan arah maju mundurnya kualitas pendidikan. Hal ini bisa dirasakan ketika sebuah lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar bagus, maka dapat dilihat kualitasnya, berbeda dengan lembaga pendidikan yang melaksanakan pendidikan hanya dengan sekedarnya maka hasilnya pun biasa-biasa saja. Selanjutnya adanya Perubahan sistem pendidikan nasional, dari undang-undang No.2 Tahun 1989 menjadi undang-undang No. 20 Tahun 2003, merupakan upaya pembaharuan pendidikan kearah peningkatan mutu. Upaya peningkatan mutu beralih menjadi tangggung jawab sekolah dengan diberlakukannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sejalan dengan eraotonomi daerah. Banyak konsep pendidikan dalam UU Sisdiknas 2003 yang bernilai filosofis, yang dapat membangun ”Paradigma Baru” pendidikan Indonesia.

Baca juga : Komponen Utama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)  

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntunan kebutuhan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntunan tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat. dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.

Chapman (1990) dalam Fattah (2003 : 28) menjelaskan bahwa :

“Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai terjemahan dari School Base Management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk meningkatkan, me-redisain pengelolaan sekolah, bertujuan untuk memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah dalam upaya perbaikan kinerjanya yang mencakup guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan pemerintahan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders)”.

Dengan mengalihkan wewenang dalam keputusan dari pemerintah tingkat Pusat/Kanwil/Kadis ke tingkat sekolah, diharapkan sekolah akan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntunan lingkungan masyarakatnya. Pada pelaksanaannya disadari bahwa mengimplementasikan pemberian kewenangan kepada sekolah melalui pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memerlukan proses dan waktu.

Organisasi berwajah lokal dalam kegiatannya cenderung berdasarkan pada konsensus lewat dialog dan diskusi yang terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini, jabatan Kepala Sekolah yang selama ini ditunjuk oleh pemerintah perlu diganti dengan Kepala Sekolah yang dipilih oleh guru dan kelak apabila masa jabatan sudah habis Kepala Sekolah akan dievaluasi oleh guru pula. Sekolah dengan bentuk organisasi semacam itu akan memungkinkan sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom dari kekuatan politik. Kerja Kepala Sekolah beserta staf administrasi tim yang demokratis orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai anggota bukan sebagai klien.

Dari berbagai problem dan tantangan yang menyertainya, baik secara konseptual maupun secara operasional pelaksanaan model manajemen berbasis sekolah, maka urgensi penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji lebih mendalam pada tingkat aktualisasi realitanya yang lebih riil. Untuk itu, maka muncullah sistem baru yaitu sistem Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep Manajemen Berbasis sekolah (MBS) ini pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya ketika itu masyarakat mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, dipandang perlu membangun suatu sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar bagi peserta didik. Muncullah penataan sekolah melalui konsep MBS yang diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan yang meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. (Sagala, 2004: 17).

Sistem Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu sistem yang menunutut agar sekolah dapat secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah (Mulyasa, 2006: 24). Pembelajaran berbasis kompetensi menekankan pembelajaran ke arah penciptaan dan peningkatan serangkaian kemampuan dan potensi siswa agar bisa mengantisipasi tantangan aneka kehidupannya. Sehingga orientasi pembelajaran yang selama ini lebih ditekankan pada aspek ”pengetahuan” dan target ”materi” yang cenderung verbalistis berubah menjadi lebih ditekankan pada aspek ”kompetensi” dan target ”keterampilan”. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran merupakan suatu proses sistematis yang dilakukan secara terus menerus dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pembelajaran, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat tercapai.

Keberhasilan pendidikan dengan sistem MBS ini dapat diukur dari indikator-indikator yang meliputi: input, proses, output dan outcome. (Engkoswara, 1988: 54). Pertama, input yaitu diantaranya adalah kualitas guru haruslah profesional dalam pengembangan ide kreativitasnya sehingga dapat menunjang mutu pembelajaran. Kedua, proses pembelajaran, pada umumnya pembelajaran ditekankan pada proses pengajaran oleh guru (teacher teaching) dibandingkan dengan proses pembelajaran oleh murid (student learning). Hal ini menyebabkan proses belajar menjadi statis dan beku. Oleh karena itu untuk memperbaiki mutu pendidikan, upaya pemberdayaan pembelajaran yang difokuskan siswa belajar menjadi sangat penting. Pemberdayaan yang dimaksud tidak akan meninggalkan fungsi dan peran guru, sehingga keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran sangat dibutuhkan. (Rahardja, 2002: 5). Ketiga, output, diantaranya adalah masyarakat dan dunia usaha.

Baca juga : Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)  

Hal ini pula yang menjadi tolok ukur peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena sekolah yang baik merupakan suatu kebanggaan baik bagi pengelola (yayasan) ataupun bagi masyarakat sekitar (Fattah, 1999: 3). Adapun untuk dunia usaha itu juga merupakan suatu bukti ada tidaknya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah tersebut, semakin baik dunia usaha yang dimiliki lulusan sekolah tersebut maka semakin baik juga pula mutu sekolah tersebut. Keempat, outcome meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya. Engkoswara, 1988: 54). Selain itu, sistem pembelajaran MBS ini memiliki ciri-ciri lain diantaranya:

1. Tidak bersifat sentralistik, maksudnya semua kegiatan pendidikan tidak tergantung pada pusat (pemerintah).

2. Memiliki hak otonomi yang luas dalam mengembangkan kreativitas dalam memberdayakan dan mengoptimalisasi sumber-sumber daya yang ada.

3. Memiliki sifat kewiraswastaan sehingga manajemen sekolah akan lebih luwes dan inovatif.

4. Non birokrasi yaitu sedikit mengesampingkan syarat-syarat hukum dan teknis dalam pendirian sekolah. (Bambang Rahardja, 2002: 5).

Selain empat ciri diatas, ada empat alasan perlunya sekolah menerapkan program sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu:

1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kelebihan dan kelemahan dirinya, sehingga mereka dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.

2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dalam proses pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah dan perkembangan anak didiknya.

3. Sekolah dapat mempertanggungjawabkan kinerja dan mutu pendidikan yang dihasilkan sekolah masing-masing kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah, sehingga mereka akan berupaya seoptimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai target mutu pendidikan yang telah direncanakan.

4. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah daerah setempat atau bahkan pemerintah pusat. (Umaedi, 2000: 3).

Pada dasarnya model manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan pendidikan yang mencoba diterapkan oleh sekolah- sekolah negeri maupun swasta yang juga telah menggunakan model manajemen berbasis sekolah. Berdasarkan observasi awal Sebagai implementasi dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang demokratis berciri pada pemberian wewenang luas pada sekolah untuk mengatur pendidikan dan pengajaran sebagai aspirasi dari masyarakat kepada sekolah merupakan inti dari konsep MBS.
 

Konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)


Istilah Manajemen berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari .School Based Management.. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Pengertian Manajemen berbasis Sekolah menurut beberapa ahli:

Menurut E. Mulyasa (2004:24) : .MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.

Menurut Nanang Fatah (2006:32) MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal Local Stakeholder.

Menurut Bedjo sudjanto (2005:37) MBS merupakan model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah. Disamping itu, MBS juga mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah yang dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan. Hal yang penting dalam implementasi/pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri.

Menurut Mulyasa (2004 : 118), sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka pelaksanaan MBS, yaitu

“Kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana, dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat serta manajemen layanan khususnya lembaga pendidikan”.

Manajemen berbasis sekolah sebagaimana dikemukakan oleh para ahli adalah sebuah model pengelolaan sekolah yang mengarah pada kemandirian lembaga pendidikan sekolah dan terintegratif dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Olehnya itu, jika model ini dikembangkan dua syarat pokok yang harus dipenuhi oleh setiap pendidikan sekolah, pertama sekolah menjamin adanya kultur sekolah yang kondusif dan demokratis menanggapi respon masyarakat secara terbuka sebagai wujud pertanggungjawaban public.

Baca juga : Dampak Kenakalan Remaja  

Jadi, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah. 11MBS menyediakan kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua kontrol yang sangat besar dalam proses pendidikan dengan memberi mereka tanggung jawab untuk memutuskan anggaran, personil, serta kurikulum.

Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Adanya otonomi yang luas kepada sekolah

b. Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi

c. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional

d. Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional

Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat dilihat pula melalui pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MBS berdasarkan berdasarkan pada input, proses dan output

1. Input Pendidikan

Dalam input pendidikan ini meliputi; (a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, (b) sumber daya yang tersedia dan siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi,(e) fokus pada pelanggan.

2. Proses

Dalam proses terdapat karakter yaitu; (a) PBM yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi, (b) Kepemimpinan sekolah yang kuat, (c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (e) Sekolah memiliki budaya mutu, (f) Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis.

3. Output 

Output Sekolah adalah Prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajarn dan manajemen di sekolah. Pada umumnya output dapat di klasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik yang berupa NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir ( Kritis, Kreatif, Nalar, Rasionalog, Induktif, Deduktif dan Ilmiah. Dan output non akademik, berupa keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya.

Karakteristik MBS bisa diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia,dan pengelolaan sumber daya administrasi. 

Menurut Depdiknas fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah

Sekolah di beri kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, Sekolah juga diberi kewenangan untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.

2. Pengelolaan Kurikulum.

Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga di beri kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.

3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar.

Sekolah di beri kebebasan untuk memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.

4. Pengelolaan ketenagaan.

Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sanksi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.

5. Pengelolaan keuangan

Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus di beri kebebasan untuk untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata bergantung pada pemerintah.

6. Pelayanan siswa

Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

7. Hubungan sekolah dan masyarakat

Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.


Tujuan Manajemen berbasis Sekolah


Tujuan utama Manajemen Berbasis Sekolah adalah meningkatkan efisiensi, mutu,dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh k Sementara itu baik berdasarkan kajian pelaksanaan dinegara-negara lain, maupun yang tersurat dan tersirat dalam kebijakan pemerintah dan UU sisdiknas NO. 20 Tahun 2003, tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat pasal 55 ayat 1:Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan pasal tersebut setidaknya ada empat aspek yaitu: kualitas (mutu) dan relevansi, keadilan, efektifitas dan efisiensi, serta akuntabilitas.

1) MBS bertujuan mencapai mutu quality dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolok ukur penilaian pada hasil output dan outcome bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa (lulusan), seperti nilai ujian atau prestasi lainnya, sedangkan relevansi lebih merujuk pada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (dampak), termasuk juga ranah pendidikan yang tidak diujikan.

Baca juga : Cara Mengatasi Kesulitan Belajar  

2) MBS bertujuan menjamin keadilan bagi setiap anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu disekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang social ekonomi dan psikologis yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal. Sungguhpun antara sekolah harus saling memacu prestasi, tetapi setiap sekolah harus melayani setiap anak (bukan hanya yang pandai), dan secara keseluruhan sekolah harus mencapai standar kompetensi minimal bagi setiap anak yang diluluskan. Keadilan ini begitu penting, sehingga para ahli sekolah efektif menyingkat tujuan sekolah efektif hanya mutu dan keadilan atau .quality and equity.

3) MBS bertujuan meningkatkan efektifitas MBS bertujuan meningkatkan efektifitas dan efisiensi. Efektifitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipaki dalam proses pendidikan disekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif-tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil, atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik, diupayakan menerapkan indikator-indikator atau cirri-ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS diharapkan setiap sekolah, sesuai kondisi masing-masing, dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks social budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran. Atau dengan kata lain, efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa).

4. MBS bertujuan meningkatkan akuntabilitas sekolah dan komitmen semua stake holders. Akuntabilitas adalah pertanggung jawaban atas semua yang dikerjakan sesuai wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggung jawaban sekolah lebih pada masalah administratif keuangan dan bersifat vertical sesuai jalur birokrasi. Pertanggung jawaban yang bersifat teknis edukatif terbatas pada pelaksanaan program sesuai petunjuk dan pedoman dari pusat (pusat dalam arti nasional, maupun pusatpusat irokrasi di bawahnya),tanpa pertanggung jawaban hasil pelaksanaan program.

Langkah-langkah Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan behasil melalui strategi- strategi berikut ini:

Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil.

Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif, dalam hal pembiayaan, prosespengambian keputusan terhadap kurikulum. Sekolah harus lebih banyak mengajaklingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas.

Ketiga, kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator. Bagaimanapun kepala sekolah adalah pimpinan yang memiliki kekuatan untuk itu. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan.

Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan

dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas sehingga hanya menyenangkan pimpinannya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama.

Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara bersungguh sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Siapa kebagian peran apa dan melakukan apa, sampai batas-batas nyata perlu dijelaskan secara nyata.

Keenam, adanya guidlines dari departemen pendidikan terkait sehingga mampu

mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. Artinya, tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing.

Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawabannya setiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait.

Kedelapan, Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa.

Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialsasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing pembangunan kelembagaan capacity building mengadakan pelatihan pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan dilapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Bagi sekolah yang sudah beroperasi ( sudah ada / jalan) paling tidak ada 6 (enam) langkah, yaitu : 1) evaluasi diri self assessment; 2) Perumusan visi, misi, dan tujuan; 3)Perencanaan; 4) Pelaksanaan; 5) Evaluasi; dan 6) Pelaporan.

Masing-masing langkah dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Evaluasi diri self assessment

Evaluasi diri sebagai langkah awal bagi sekolah yang ingin, atau akan melaksanakan manajemen mutu berbasis sekolah.Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat brainstorming yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh staf, dan diikuti juga anggota komite sekolah. Prakarsa dan pimpinan rapat adalah kepala sekolah. memancing minat acara rapat dapat dimulai dengan pertanyaan seperti: Perlukah kita meningkatkan mutu? seperti apakah kondisi sekolah / madrasah kita dalam hal mutu pada saat ini? Mengapa sekolah kita tidak/belum bermutu?

Kegiatan ini bertujuan:

a) Mengetahui kondisi sekolah saat ini dalam segala aspeknya (seluruh komponen sekolah), kemajuan yang telah dicapai, maupun masalah-masalah yang dihadapi ataupun kelemahan yang dialami.

b) Refleksi/Mawas diri, untuk membangkitkan kesadaran / keprihatinan akan penting dan perlunya pendidikan yang bermutu, sehingga timbul komitmen bersama untuk meningkatkan mutu sense of quality.

c) Merumuskan titik tolak point of departure bagi sekolah/madrasah yang ingin atau akan mengembangkan diri terutama dalam hal mutu. Titik awal ini penting karena sekolah yang sudah berjalan untuk memperbaiki mutu, mereka tidak berangkat dari nol, melainkan dari kondisi yang dimiliki.

2) Perumusan Visi, Misi, dan tujuan

Bagi sekolah yang baru berdiri atau baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan merupakan langkah awal/pertama yang harus dilakukan yang menjelaskan kemana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/ penyelenggara pendidikan.

Dalam kasus sekolah/madrasah negeri kepala sekolah bersama guru mewakili pemerintah kab/kota sebagai pendiri dan bersama wakil masyarakat setempat ataupun orang tua siswa harus merumuskan kemana sekolah kemasa depan akan dibawa, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 23 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kondisi yang diharapkan/diinginkan dan diimpikan dalam jangka panjang itu, kalau dirumuskan secara singkat dan menyeluruh disebut visi. Keadaan yang diinginkan tersebut hendaklah ada kaitannya dengan idealisme dan mutu pendidikan. Idealisme disini dapat berkaitan dengan kebangsaan, kemanusiaan, keadilan, keluhuran budi pekerti, ataupun kualitas pendidikan sebagaimana telah didefinisikan sebelumnya. Sedangkan misi, merupakan jabaran dan visi atau merupakan komponen-komponen pokok yang harus direalisasikan untuk mencapai visi yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, misi merupakan tugas-tugas pokok yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi. Tujuan merupakan tahapan antara, atau tonggak tonggak penting antara titik berangkat (kondisi awal) dan titik tiba tujuan akhir yang rumusannya tertuang dalam dalam bentuk visi-misi. Tujuan-tujuan antara ini sebagai tujuan jangka menengah kalau tiba saatnya berakhir (tahun yang ditetapkan ) akan disusul dengan tujuan berikutnya, sedangkan visi dan misi (relatif/pada umumnya) masih tetap. Tujuan (jangka menengah), dipenggal-penggal menjadi tujuan tahunan yang biasa disebut target/sasaran, dalam formulasi yang jelas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan-tujuan jangka pendek (1 tahun) inilah yang rincian persiapannya dalam bentuk perencanaan.

Baca juga : Perbedaan Pertumbuhan dan Perkembangan  

3) Perencanaan

Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjawab: apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannnya untuk mewujudkan tujuan (tujuan-tujuan) yang telah ditetapkan / disepakati pada sekolah yang bersangkutan, termasuk anggaran yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan. Dengan kata lain perencanaan adalah kegiatan menetapkan lebih dulu tentang apa-apa yang harus dilakukan, prosedurnya serta metode pelaksanaannya untuk mencapai suatu tujuan organisasi atau satuan organisasi.

Perencanaan oleh sekolah merupakan persiapan yang teliti tentang apa-apa yang akan dilakukan dan skenario melaksanakannya untuk mencapai tujuan yang dihar apkan, dalam bentuk tertulis. Dikatakan teliti karena ia harus menjelaskan apa yang akan dilakukan, seberapa besar lingkup cakupan kuantitatif dan kualitatif yang akan dikerjakan, bagaimana, kapan dan berapa perkiraan satuan-satuan biayanya, serta hasil seperti apa yang diharapkan.

4) Pelaksanaan

Apabila kita bertitik tolak dari fungsi-fungsi manajemen yang umumnya kita kenal sebagai fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/penggerakkan atau pemimpinan dan kontrol/pengawasan serta evaluasi, maka langkah pertama sampai dengan ketiga dapat digabungkan fungsi perencanaan yang secara keseluruhan (untuk sekolah) sudah dibahas. Didalam pelaksanaan tentu masih ada kegiatan perencanaan-perencanaan yang lebih mikro (kecil) baik yang terkait dengan penggalan waktu (bulanan,semesteran, bahkan mingguan), atau yang terkait erat dengan kegiatan khusus, misalnya menghadapi lomba bidang studi, atau kegiatan lainnya. Tahap pelaksanaan, dalam hal ini pada dasarnya menjawab bagaimana semua fungsi manajemen sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan lembaga yang telah ditetapkan melalui kerjasama dengan orang lain dan dengan sumber daya yang ada, dapat berjalan sebagaimana mestinya (efektif dan efisien). Pelaksanaan juga dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan merealisasikan apa-apa yang telah direncanakan.

Selanjutnya Sidi, mengemukakan bahwa kemandirian sekolah yang ditegaskan dalam manajemen berbasis sekolah, sangat menekankan pada optimalisasi pelaksanaan proses belajar mengajar, partisipasi masyarakat dan kinerja kepala sekolah. Khususnya mengenai pelaksanaan belajar mengajar, guru-guru memegang peranan yang sangat menentukan, sebab sekalipun sarana dan prasarana pendidikan lengkap dan mempunyai sumber dana yang cukup memadai, tetapi kalau sumber daya manusianya yaitu para guru-gurunya tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dalam proses belajar mengajar, maka tidak dapat diharapkan mutu output pendidikan akan meningkat.



Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah secara ringkas diperoleh gambaran sebagai berikut:

1. Kinerja kepala sekolah terhadap berbagai tugas dan fungsi kepala sekolah seperti kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator supervisor, leader, inovator dan motivator berjalan maksimal.

2. Kinerja guru dilihat dari empat aspek yang dinilai yakni kelengkapan program mengajar guru, penyajian materi pelajaran evaluasi dan analisis hasil belajar murid serta program perbaikan dan pengayaan. Dari empat aspek tersebut secara khusus pada program perbaikan dan pengayaan masih terdapat kelemahan-kelemahan seperti penyusunan tes dan materi berulang-ulang pada masing-masing sekolah, hal mana menunjukkan bahwa tingkat kreatifitas guru menyusun materi masih sangat terbatas. 

3. Partisipasi masyarakat terhadap pihak pengelola sekolah belum sepenuhnya menunjukkan kerjasama yang baik diakibatkan oleh rendahnya kemampuan akademik masyarakat berorganisasi (komite sekolah) sehingga memiliki keterbatasan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik seperti, perumusan misi, visi dalam perencanaan dan mekanisme pengawasan dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah

Adapun faktor pendukung implementasi manajemen berbasis sekolah di sekolah antara lain: adanya kerjasama antara kepala sekolah dengan semua pihak-pihak yang ada di sekolah, dukungan dana yang besar yang dapat membiayai berbagai kegiatan baik ekstra maupun intra, kemampuan akademik dan manajerial para pendidik sangat menunjang dalam proses pembelajaran, kemampuan manajemen tenaga administratif sangat membantu kegiatan ketatausahaan, sedang yang termasuk faktor penghambat manajemen berbasis sekolah antara lain: Transparansi dan akuntabilitas kepala sekolah belum bersifat terbuka terutama dalam pemanfaatan dana, wilayah sekolah yang sempit tidak seimbang dengan jumlah siswa yang teramat banyak, masih ada guru yang bersifat acuh terhadap peningkatan kualitas pendidikan, serta banyaknya peserta didik dengan berbagai karakter menyulitkan untuk pelaksanaan MBS secara total.

Posting Komentar untuk "Manajemen Berbasis Sekolah : Implementasi, Ciri, Konsep, Karakteristik dan Langkah Penerapan"