Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak Berkebutuhan Khusus Adalah : Pengertian, Jenis, Karakteristik dan Klasifikasinya


Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Anak berkubutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan individu pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi dan fisik. Yang termasuk ke dalam anak berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Menurut Kanner dalam Jamaris (2006:85) adalah orang ynag mengemukakan autisme; anak autis adalah anak yang mengalami outstanding fundamental disorder sehingga tidak mampu melakukan interaksi dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, anak autis bersifat menutup diri dan tidak peduli, serta tidak memperhatikan lingkungannya (Greespan dan Wider dalam Jamaris, 2006:85).

Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan da potensi merela contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuhan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

Baca juga : Landasan Asas Bimbingan dan Konseling di Lembaga Pendidikan yang Harus Dijunjung Tinggi  

Jenis/Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


  • Gangguan Pengelihatan (Tunanetra)

a. Pengertian

Peserta didik dengan gangguan penglihatan adalah mereka yang mengalami gangguan penglihatan secara signifikan, sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan atau pembelajaran khusus. Menurut Hallahan dan Kauffman dalam (mangunsong, 2009), seseorang dinyatakan tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya ternyata ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya ternyata pandangannya tidak melebihi 20 derajat.

Hubungan dengan tujuan pendidikan gangguan penglihatan berarti adanya kerusakan penglihatan dimana walaupun sudah dilakukan perbaikan masih mempengaruhi prestasi belajar secara optimal. Oleh karena itu, berdasarkan sudut pandang pendidikan, ada dua kelompok gangguan penglihatan yaitu :

a. Siswa yang tergolong buta akademis (Educational Blind) mencakup siswa yang tidak dapat lagi menggunakan penglihatannya untuk tujuan belajar huruf awas/cetak. Pendidikan yang diberikan pada siswa meliputi program pengajaran yang memberikan kesempatan anak untuk belajar melalui non-Visual Senses (sensori lain diluar penglihatan).

b. Siswa yang melihat sebagian/kurang awas (the partially sighted/low vision), meliputi siswa yang dengan pengelihatan yang masih berfungsi secara cukup di antara 20/70 sampai 20/200, atau mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan normal tapi medan pengandangan kurang dari 20 derajat. Dengan demikian cara belajar utamanya semaksimal mungkin menggunakan sisa penglihatan.

b. Penyebab/Etiologi

Penyebab kerusakan penglihatan dapat terjadi pada masa pranatal atau sebelum anak dilahirkan, pada proses kelahiran maupun setelah anak dilahirkan. Kerusakan penglihatan sejak lahir biasanya disebabkan berbagai hal, seperti: faktor keturunan ,infeksi,(misalnya campak Jerman), atau ditularkan oleh ibu saat janin masih dalam proses pembentukan di saat kehamilan.Kerusakan penglihatan juga dapat merupakan akibat penggunaan oksigen berlebihan ketika bayi prematur di dalam inkubasi penyebab lainnya seperti: komplikasi virus rubella, kurangnya vitamin A, kelahiran dengan berat badan rendah, dan defisiensi warna.

Dari berbagai penyebab kerusakan penglihatan, penyebab utama timbulnya kebutaan di negara-negara berkembang adalah Trachoma. Trachoma muncul saat tertular mikroorganisme yang disebut chlymydia trachomatis sehingga terjadi peradangan dalam mata. Kondisi ini seringkali ditemukan di pedesaan miskin dengan kondisi tempat tinggal yang kumuh, sesak, kurang air dan kurangnya sanitasi yang memadai.

Kerusakan atau kehilangan penglihatan yang terjadi pada usia belasan, kalau pun terjadi biasanya karena luka terbentur benda keras, bola, kecelakaan kendaraan, dan lain-lain.Anak yang buta sejak lahir secara alamiah berbeda kondisinya dibandingkan dengan anak yang kehilangan penglihatannya pada usia belasan tahun. Hal ini penting untuk diketahui oleh pendidik, karena keduanya memiliki kemampuan yang berbeda. Anak yang buta sejak lahir memiliki proses belajar melalui pendengaran, perabaan, dan Indra non-visual lainnya yang kuat. Sementara anak yang kehilangan penglihatan di usia belasan tahun memiliki pengalaman visual yang luas, dimana ingatan visual tersebut dapat membantu dalam proses pendidikan. Namun begitu, anak yang mengalami kebutaan setelah sebelumnya dapat melihat, biasanya membutuhkan penerimaan dan dukungan emosional yang lebih besar. Oleh karena itu, penyesuaian yang dilakukan hendaknya dilakukan secara bertahap.

c. Karakteristik Fisik Motorik

Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat.Kemampuan orientasi arah yang mereka miliki biasanya buruk, kesadaran tubuh (body awareness) tidak tepat mengkoordinasikannya, dan kurang dapat memperkirakan cara bergerak yang aman atau tepat pada situasi yang baru. Oleh karena itu, maka anak tunanetra juga memiliki keterbatasan mobilitas atau kemampuan untuk berpindah tempat.

Anak tunanetra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan. Biasanya, anak lebih termotivasi akan memiliki mobilitas yang lebih baik. Sebaliknya, anak yang cenderung lebih frustasi menjadi kurang termotivasi untuk mencapai keterampilan-keterampilan mobilitasnya.

d. karakteristik Kognitif

Berbeda antara tunanetra dengan anak normal bahwa pada anak normal mendapatkan pengalaman belajar tentang dunia melalui informasi taktil, visual, dan auditif. Sedangkan pada anak tunanetra, mereka lebih bergantung pada informasi taktil atau auditif. Meskipun memiliki keterbatasan, namun dengan minimal sejak dini, biasanya anak tunanetra dapat pula meningkatkan kemampuan eksplorasinya terhadap dunia dan lingkungan. Oleh karena itu, tidak benar jika kebutaan selalu mengakibatkan intelegensi seseorang menjadi lebih rendah. Meskipun jika diukur dengan tes intelegensi, tingkat kecerdasan anak tunanetra biasanya berada di taruh di bawah rata-rata. Hal ini disebabkan karena mereka hanya menyelesaikan tugas-tugas verbal dan memiliki keterbatasan untuk menyelesaikan tugas-tugas performance.

e. Karakteristik Sosial Emosi

Anak tunanetra biasanya memiliki masalah dalam penyesuaian diri, merasa tidak berdaya, dan tergantung pada orang lain. Mereka cenderung pasif dan kurang memperhatikan dirinya sendiri, sehingga cenderung membutuhkan orang lain untuk membantu aktivitas sehari-harinya seperti: makan, minum, berpakaian dan lain lain.Perkembangan bahasa anak tunanetra tidak menunjukkan perbedaan.Hanya saja, keterbatasan pengalaman visual, menyebabkan bahasa mereka lebih mengarah pada dirinya sendiri.

Kesulitan interaksi sosial biasanya terjadi karena merespon masyarakat yang tidak sesuai pada anak-anak tunanetra ini. Hal ini karena anak tunanetra biasanya memiliki ekspresi wajah yang berbeda dari anak normal. Mereka sulit menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, terutama perasaan-perasaan yang negatif. Anak tunanetra juga sering menunjukkan perilaku stereotipik atau gerakan yang sama dengan diulang-ulang seperti: menggoyangkan tubuh, mencongkel atau menggaruk mata, gerakan jari atau tangan yang berulang-ulang diketuk-ketukan.


  • Gangguan pendengaran (Tunarungu)

a. Pengertian

Donald F. Morees (dalam supena dkk, 2012), mendefinisikan tunarungu adalah: “istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan kedalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang kurang dengar adalah yang memakai alat bantu dengar, di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran”.

Baca juga : Orientasi Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Individual, Perkembangan dan Masalah  

Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi, dan penting diketahui oleh pendidik untuk menentukan pembelajaran yang efektif. Dalam Mangunsong (2011) klasifikasi keturunan yang bersifat kuantitatif menunjukkan pada gangguan pendengaran sesuai dengan hilangnya pendengaran yang dapat diukur dengan alat audiometri yaitu sebagai berikut:

  • kelompok 1: anak yang kehilangan pendengaran ringan (20-30 dB) gangguan ini merupakan ambang batas antara orang yang sulit mendengar dengan orang normal. Mereka mampu berkomunikasi dengan menggunakan pendengarannya. Mereka baru tidak bisa mendengar lagi terhadap suara bisa bisikan.
  • kelompok 2: anak yang kehilangan pendengaran Marginal (30-40 dB). Anak sering mengalami kesulitan mengikuti suatu pembicaraan pada jarak beberapa meter. Mereka masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar, namun harus dilatih. Anak ini sudah tidak bisa mendengar lagi terhadap suara yang setara suara alat rumah tangga atau mesin tik listrik.
  • Kelompok 3: anak yang kehilangan pendengaran berat(40-60 dB). Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, saat ini masih bisa belajar berbicara dengan mengandalkan alat-alat pendengaran. Mereka sudah tidak bisa mendengar lagi terhadap suara yang setara alat rumah tangga atau mesin tik listrik.
  • Kelompok 4: anak yang kehilangan pendengaran beras (60-75 dB). Pada kondisi ini, anak dianggap ‘tuli secara edukatif’. Mereka berada pada ambang batas antara sulit mendengar dengan tuli. Anak-anak ini tidak bisa belajar berbicara tanpa menggunakan teknik-teknik khusus. Mereka sudah tidak dapat mendengar lagi terhadap percakapan biasa.
  • Kelompok 5: anak yang kehilangan pendengaran yang parah (di atas 75 dB). Anak sudah tidak bisa lagi belajar bahasa dengan semata-mata mengandalkan telinga, meskipun sudah didukung dengan alat bantu dengar. Mereka sudah tidak dapat mendengar suara-suara seperti: jaringan telepon, lalu lintas jalan raya, suara motor ataupun petir.

Kelompok 1,2, dan 3 tergolong sulit mendengar sedangkan kelompok 4 dan 5 tergolong tuli. Kesulitan belajar berbicara akan semakin bertambah sejalan dengan semakin bertambahnya kesulitan pendengar. Ketika pendengaran seseorang semakin parah, maka ia rugi mengadakan mata daripada telinganya. Jika dipaksakan untuk berkomunikasi secara verbal, maka biasanya anak akan memaksa atau mengandalkan bagian lain dari tubuhnya seperti: mata, gerakan tubuh, wajah, isyarat tangan, dan sebagainya (selain juga tetap berusaha menggunakan telinga, mulut, dan lidahnya untuk berbicara).

b. Penyebab/Etiologi

Ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir, pada saat kelahiran atau sesudah lahir. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a) Faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tua yang tunarungu.Ibu yang mempunyai darah RH (-), maka sistem pembuangan antibodi Ibu sampai pada sirkulasi janin. Virus tersebut dapat membunuh pertumbuhan sel-sel dan menyerang jaringan mata, telinga, dan organ lainnya.

b) Penyakit virus rubella yang diderita ibu yang sedang mengandung.Pada masa kandungan 3 bulan pertama, Penyakit ini berpengaruh pada janin, 50% dalam yang dikandung akan mengalami kelainan pendengaran.

c) Keracunan darah atau toxaminia yang diderita ibu yang sedang mengandung, yang mengakibatkan kerusakan plasenta sehingga mempengaruhi pertumbuhan janin dan menyerang alat pendengaran.

d) Infeksi saat dilahirkan, dimana anak tertular virus aktif dari penyakit kelamin ibu. Penyakit-penyakit yang ditularkan ibu kepada anak yang dilahirkannya ini dapat mengakibatkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pedengaran.

e) Meningitis atau radang selaput otak, yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang telinga dalam melalui sistem sel-sel udara pada telinga tengah.

f) Radang telinga bagian tengah (otitis media) pada anak, yaitu keluarnya nanah yang memukul dan menggan mengganggu hantaran bunyi. Badan ini sering terjadi sebelum usia 6 tahun, dan biasanya karena penyakit pernafasan berat atau pilek dan campak.

c. Karakteristik Fisik Motorik

Secara fisik motorik, anak tunarungu terlihat tidak terlalu berbeda dengan anak normal pada umumnya. Hanya saja, mereka cenderung memiliki sifat impulsif. Tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan. Mereka cenderung kurang hati-hati dan kurang mampu mengantisipasi akibat yang mungkin timbul akibat perbuatannya. Mereka juga ingin secara memenuhi apa yang menjadi keinginannya. Oleh karena itu, mereka cenderung terlihat tidak sabar karena sulit menunda pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang.

d. Karakteristik Kognitif

Pendengaran dan perkembangan bahasa memiliki hubungan yang sangat besar, dan ini merupakan masalah yang besar bagi anak tunarungu. Kepandaiannya berbicara tergantung pada tingkat kerusakan pendengaran dan usia awal munculnya kerusakan pendengaran tersebut. Struktur bahasa yang digunakan anak tunarungu biasanya lebih sederhana dibandingkan anak normal. Hal ini terlihat baik dalam bentuk bahasa lisan maupun bahasa tulisan.

Morees (dalam hallahan dan Kauffman,2006) yang menyimpulkan bahwa anak tunarungu dan anak normal memiliki kemampuan kognitif dan intelektualitas yang sama. Namun demikian, prestasi akademik yang bergantung pada bahasa menyebabkan prestasi pendidikan anak tunarungu menjadi rendah atau bahkan mengalami keterlambatan belakangan yang serius.

e. Karakteristik Sosial Emosi

Beberapa karakteristik sosial emosi anak tunarungu yang menonjol yaitu:

  • Sifat egosentris yang lebih besar.Mereka menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain. Mereka juga kurang menyadari atau peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain.
  • Kesulitan penyesuaian diri. Keterbatasan dalam kemampuan bahasa membatasi kemampuannya untuk mengintegrasikan pengalaman dan sekaligus akan semakin memperkuat sifat egosentrisnya.
  • Sifat kaku dan sikap yang kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas kesehariannya.
  • Sifat cepat marah dan mudah tersinggung. Temper tantrum dan frusstasi yang bersifat fisik seringkali ditunjukkan karena mereka melakukannya dalam bentuk bahasa.
  • Perasaan khawatir dan ragu-ragu ragu-ragu.

  • Gangguan Intelektual (Tunagrahita)

a. Pengertian

Istilah untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama : lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita.

Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid. Anak tunagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi: fisik, intelektual, sosial, emosi dan atau gabungan dari hal-hal tadi, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Jadi anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan layanan pendidikan khusus.

Baca juga : Kode Etik Konselor dalam Bidang Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Sekolah  

b. Penyebab/Etiologi

Faktor -faktor penyebab terjadinya tunagrahita :

1. Prenatal (sebelum lahir)

Adalah proses sebelum dilahirkan (dalam kandungan)

  • Adanya faktor genetika
  • Ibu waktu hamil perokok berat dan minuman keras
  • Ibu yang mengalami depresi berat
  • Ibu mengalami kecelakaan waktu hamil (benturan)
  • Ibu hamil yang kekurangan gizi
  • Ibu hamil pemakai obat-obatan (naza)
  • Campak
  • Diabetes
  • Cacar

2. Natal (waktu lahir)

Adalah proses ibu melahirkan yang

  • Sudah terlalu lama, dapat mengakibatkan kekurangan oksigen pada bayi,
  • Tulang panggul ibu yang terlalu kecil dapat menyebabkan otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia),
  • Sewaktu melahirkan menggunakan alat bantu (penjepit, tang)
  • Melahirkan belum waktunya (prematur)
  • Ibu yang mempunyai penyakit kelamin

3. Pos natal (sesudah lahir)

Adalah setelah ibu melahirkan

  • Anak mengalami kecelakaan (jatuh mengenai bagian kepala)
  • Anak mengalami gizi buruk, busung lapar, demam tinggi yang disertai kejang-kejang\
  • Radang selaput otak (meningitis) dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).

c. Karakteristik Fisik Motorik

Anak yang mengalami tunagrahita memiliki fisik yang hampir sama dengan anak normal pada umunya. Namun, kematangan motoriknya lambat, kordinasi gerak kurang baik (gerakan sering tidak terkendali). Pada kasus tunagrahita berat kondisi fisik lebih terlihat contohnya kepala yang terlalu besar atau kecil.

d. Karakteristik Kognitif

Adapun karakteristik tunagrahita sebagai berikut:

  • Sulit mempelajari hal-hal akademik.
  • Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
  • Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
  • Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.

e. Karakteristik Sosial Emosi

Adapun kondisi sosial emosi tunagrahita sebagai berikut:

  • Bergaul dengan anak yang lebih muda.
  • Suka menyendiri
  • Mudah dipengaruhi\
  • Kurang dinamis
  • Kurang pertimbangan/kontrol diri
  • Kurang konsentrasi
  • Mudah dipengaruhi
  • Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.
  • Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
  • Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan

  • Gangguan Ganda (Tunaganda)

a. Pengertian

Tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius ,sehingga dia tidak hanya dapat diatas dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki.

Tunaganda adalah mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tunanetra dengan tunarungu sekaligus, penyandang tunadaksa disertai dengan tunagrahita atau bahkan tunadaksa , tunarungu, dan tunagrahita sekaligus.

Departemen Pendidikan Amerika Serikat memberikan pengertian anak-anak yang tergolong tunaganda adalah anak-anak yang karena mempunyai masalah-masalah jasmani, mental atau emosional yang sangat berat atau kombinasi dari beberapa masalah tersebut, sehingga agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal memerlukan pelayanan pendidikan sosial, psikology dan medis yang melebihi pelayanan program pendidikan luar biasa secara umum, (Heward dan Orlansky,1988, p:370).

Tunaganda adalah anak yang memerlukan latihan dalam hal keterampilan-ketrampilan dasar, misalnya dalam bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa bantuan, dalam berkomunikasi dengan orang lain, dalam mengontrol fungsi-fungsi perut dan kandungan kemih dan makan sendiri (Sontag, Smith dan Sailor seperti di kutip oleh Heward dan Orlansky,1988).

b. Penyebab/ Etiologi

Anak tunaganda disebabkan oleh faktor yang variatif, yang dapat terjadi pada saat sebelum kelainan, saat kelahiran, dan atau setelah kelahiran.

1. Faktor Prenatal :

  • Ketidaknormalan kromosom
  • Komplikasi-komplikasi pada anak dalam kandungan
  • Ketidakcocokan Rh infeksi pada ibu
  • kekurangan gizi ibu yang sedang mengadung
  • serta terlalu banyak menkonsumsi obat dan alkohol

2. Faktor Natal :

  • Kelahiran prematur kekurangan oksigen pada saat kelahiran
  • luka pada otak saat kelahiran

3. Faktor natal :

  • Kepala mengalami kecelakaan kendaraan
  • jatuh dan mendapat pukulan atau siksaan

4. Nutrisi yang salah :

Anak tidak dirawat dengan baik, keracunan makanan atau penyakit tertentu yang sama, sehingga dapat berpengaruh terhadap otak (meningitis atau encephalities).

Baca juga : Masa Kanak-kanak Awal, Pengertian dan Tugas Perkembangan  

c. Karakteristik Fisik Motorik

  • Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi: Banyak yang tidak dapat berbicara, bila ada komunikasi mereka tidak merespon. ini menyebakan pelayanan pendidikan menjadi sulit.
  • Perkembangan motorik dan fisik terbelakang: Sebagian besar anak tuna ganda mempunyai keteratasan dalam mobilitas fisik contoh : tidak dapat berjalan.
  • Sering mempunyai prilaku aneh dan tidak bertujuan: contoh : menggosok-gosok jari ke wajah, melukai diri.
  • Kurang dalam keterampilan menolong diri sendiri. Contoh : tidak dapat mengurus diri sendiri misalnya makan, berpakaian .
  • Jarang berprilaku dan berinteraksi yang sifatnya kontruktif: Anak-anak yang sehat dan tergolong cacat senang bermain dengan anak-anak lain.

Posting Komentar untuk "Anak Berkebutuhan Khusus Adalah : Pengertian, Jenis, Karakteristik dan Klasifikasinya"