Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

FIQIH MUHAMMADIYAH : Dalil Serta Landasan Hukum


Dalam tubuh Muhammadiyah terdapat satu lembaga yang khusus menanangi persoalan-persoalan yang menyangkut ibadah dan mu‘amalah. Lembaga tersebut bernama lembaga Majelis Tarjih atau Lajnah Tarjih. 

Tarjih berasal dari kata - rojjaha - yurajjihu - tarjihan, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya.

Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai Matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhamadiyah adalah membanding-bandingan pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat. 

Baca juga : FIQIH NU, Penjelasan Dalil dan Dasar Hukum

Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah melalui lembaga tarjih Muhammadiyah (manhaj tarjih Muhammadiyah) menetapkan hukum di bidang ibadah dan mu‘amalah menggunakan cara-cara istinbath hukum tersendiri yang khas, yaitu dengan menyusun praktik ibadah tersebut dalam bentuk tuntunan Rasulullah, tanpa menyebut status hukum dari perbuatan, perkataan, dan rangkaian ibadah tersebut. 

Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya. Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama Ijtihad.

Menurut Ahmad Zain An Najah, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.

Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa‘idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah tahun 2000, yakni sebagai berikut :

a. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat. 

b. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah. 

c. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam 

d. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama. 

e. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

Menurut Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya perlu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik, sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya). 

Manhaj Tarjih 

Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai keterangan singkat) adalah sebagai berikut: 

a. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur‟an dan al Sunnah al hohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta‟abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. 


Baca juga : MUHAMMADIYAH, Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya

Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad: Pertama, Ijtihad Bayani: yaitu (menjelaskan teks Al-Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran ,Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan Khoroj dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin, dengan berdalil Q.S Al-Hasyr ayat 7-10. 

Kedua, Ijtihad Qiyasi. Yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks AlQuran maupun Hadist, diantaranya : meng-qiyas-kan zakat tebu, kelapa, lada, cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal )  Ketiga, Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll 

b. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama‟i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat. Manhaj ini sebagaimana halnya pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla‘ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla‘ Wilayatul Hukmi. 

c. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur‟an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. 

Hal tersebut seperti halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur‘an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut Madzhab Muhammadiyah, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan Tarjih).  

d. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.  Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dll. 

e. Di dalam masalah aqidah (Tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.  Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa‘at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, (siroth) jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, (haudh) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung. 

Baca juga : NU, Sejarah Berdiri dan Perkembangannya

f. Tidak menolak ijma‟ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (Ijma‘ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua, pertama: ijma‘ qauli, seperti ijma‘ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur‘an dengan khot Utsmani, kedua : ijma‘ sukuti. Ijma‘ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma‘ dibagi menjadi dua : pertama : ijma‘ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma‘ setelah sahabat)

g. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta‟arudl, digunakan cara “al jam‟u wa al taufiq“. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih.  Cara-cara melakukan jama‘ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama‘ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama‟ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama‘ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba‘da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama‘ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masingmasing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah. 


h. Menggunakan asas “saddu al-dara‟i‟“ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.  Saddu al dzara‘‘i adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.

i. Men-ta‟lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur‟an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare‟ah. Adapun qaidah: “ al hukmu yaduuru ma‟a „ilatihi wujudan wa‟adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “  Ta‘lil Nash adalah memahami nash Al-Qur‘an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka‘bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara lakilaki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah) 

j. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah.  Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan)

k. Dalil –dalil umum al Qur‟an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah.

l. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir“  Di antara contohnya adalah: dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat) 

Baca juga : Ikhtilaf Sejarah, dan Sebab-sebab Kemunculannya

m. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al Qur‟an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi.  

Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia) 

n. Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.  

o. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima. 

p. Dalam memahani nash , makna dhahir didahulukan dari ta‟wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima.  Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll) 

Dalam perjalanannya Majlis Tajrih mengalami perkembangan. Salah satunya adalah dengan penambahan terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih (Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan baru ,yaitu Pendekatan “Bayani” , “Burhani” dan “Irfani”. Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan tersebut masih belum tuntas pembahasannya. 

Perjalan Majlis Tarjih yang sudah berdiri selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna memberikan konstribusikonstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia. 

Adapun cara-cara peng-istinbath-an hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah, sebagaimana ditulis Ma‘rifat Iman di antaranya sebagai berikut: 

a. Nash yang qath‟i. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh diperdebatkan lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya. 

b. Terdapat nash, namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan yang lain saling bertentangan, atau nash itu mempunyai nilai yang berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh cara: 

1) Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan alternatif mana yang dianggap terkuat. 

2) Tarjih, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang bertentangan (memilih satu alternatif dalil yang dianggapnya lebih kuat). Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh, yaitu: 

a) Jarh (cela) itu didahulukan daripada ta‟dil sesudah keterangan yang jelas dan sah menurut anggapan syara‘. 

b) Riwayat orang yang telah terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersanad sambung, sedang tadlisnya itu tidak sampai tercela. 

Baca juga : Permulaan Hijrah Nabi Muhammad 

c) Pendapat sahabat akan perkataan musytarak, pada salah satu artinya wajib diterima. 

d) Penafsiran sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata yang tersurat itu yang diutamakan/diamalkan. 

3) Jam‟u, yaitu menjama‘ atau menggabung atau menghimpun antara kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Misalnya jika ada Hadis ahad yang shahih namum bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam, maka bisa jadi atau ada kemungkinan Hadis itu bersifat insidental atau anjuran yang tidak mengikat. 


c. Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat. Dalam hal semacam ini Lembaga Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan. 

Posting Komentar untuk "FIQIH MUHAMMADIYAH : Dalil Serta Landasan Hukum"