Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penerapan Hukum Ekonomi Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia


Penerapan Hukum Ekonomi Syariah dalam Perbankan Syariah.


Undang-undang Perbankan Syariah No.21 Tahun 2008 menyatakan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Konsep dasar bank syariah didasarkan pada al-Quran dan hadis. Sehingga semua produk dan jasa yang ditawarkan tidak boleh bertentangan dengan isi al-Quran dan hadis Rasulullah SAW.

Baca juga : Konsep Lembaga Keuangan Syariah, Karakter, Prinsip, Ciri-ciri, Peranan dan Tujuan  

Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia


Peraturan perundang-undang yang mengawali eksistensi perbankan syariah adalah undang-undang no 7 tahun 1992 yang memposisikan bank syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat. Namun dalam peraturan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan kandungan peraturan tersebut. Kemudian diterbitkan undang-undang no 10 tahun 1998. Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah. 

Dalam peraturan pengganti ini juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank sistem. Hingga akhirnya diundangkan undang-undang no. 21 tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. 

Baca juga : Investasi dan Reksa Dana, Pengertian, Klasifikasi, Pengelolaan, Hubungan Return dan Risiko

Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”. Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah, antara lain:

1. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.

2. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

3. PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah


Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah ekonomi Islam lainnya. 

Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.

Penyusunan KOHES ini tidak bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah. Prinsip utama yang dianut oleh bank syariah sebagai berikut :

1. Larangan riba (bunga) dalam berbagai kegiatan transaksi.

Riba merupakan tambahan yang diambil atas adanya suatu utang piutang antara dua pihak atau lebih yang telah diperjanjikan pada saat awal dimulainya perjanjian. Setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan prinsip Islam.

2. Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah.

3. Menumbuhkembangkan zakat.

Posting Komentar untuk "Penerapan Hukum Ekonomi Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia"