Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tantangan Perusahan Asuransi Jiwa dan Faktor yang Mendorong Masyarakarat untuk Mengikuti Asuransi


Faktor yang Mendorong Masyarakarat untuk Mengikuti Asuransi Jiwa


Banyak anggapan masyarakat bahwa kebanyakan orang-orang yang membeli produk asuransi jiwa adalah mereka yang secara finansial sudah lebih dari cukup, padahal asuransi jiwa mempunyai prinsip bukan untuk membuang uang sisa melainkan untuk menjaga kondisi keuangan seseorang agar tidak jatuh.

Berdasarkan uraian yang didukung oleh beberapa teori dari para ahli, penulis dapat menyimpulkan mengenai beberapa pertimbangan masyarakat sebelum mengikuti asuransi jiwa dimana inti utama adalah mengantisipasi risiko. Pertama adalah tidak adanya dana darurat untuk mengatasi risiko baik kematian, sakit maupun cacat tetap, kedua adalah jaminan pekerjaan saat ini apakah bisa menjamin masa depan termasuk risiko pekerjaan yang tinggi seperti pekerja lapangan, terakhir adalah jumlah keluarga yang ditanggung.

Baca juga : Akad Al-Rahn (Penjaman dengan Jaminan), Pengertian, Sumber Hukum, Syarat dan Ketentuan  

Tantangan Perusahan Asuransi Jiwa di Indonesia


Prospek pertumbuhan di industri asuransi secara umum di Indonesia dihambat oleh tingkat transparansi kelembagaan, regulasi yang ketat, dan pengungkapan kepada masyarakat.

Kepercayaan nasabah atas sebuah perusahaan asuransi dilandasi oleh faktor kesehatan keuangan perusahaan. Kekuatan modal menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam persaingan, semakin besar modal yang dimiliki semakin dipercaya oleh masyarakat. Kinerja tersebut diukur dari tingkat Risk Based Capital (RBC) dari setiap perusahaan asuransi umum maupun jiwa.

RBC atau Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh nasabah dan secara umum dapat memenuhi kewajiban menjalankan usaha dengan memiliki aset dan kekuatan modal melebihi dari total kewajiban yang dimilikinya. Komponen-komponen BTSM terdiri dari: kegagalan pengelolaan kekayaan, ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang, perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan, ketidakseimbangan pihak reasuradur (perusahaan yang diserahkan sebagian risiko oleh perusahaan asuransi) untuk memenuhi kewajiban membayar klaim.

Penerapan RBC diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, Pasal 2 yaitu ‘Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120% (seratus dua puluh persen) dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban’.

Berdasarkan pasal 6B Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, perusahaan asuransi harus memiliki modal minimal Rp70.000.000.000 (tujuh puluh miliar rupiah) pada akhir 2012. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) kembali mendesak industri asuransi segera memiliki modal absolut minimal Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), dalam rangka penguatan modal serta penciptaan produk asuransi baru. Aturan modal minimum yang harus dipenuhi perusahaan asuransi baik jiwa maupun kerugian sebesar Rp70.000.000.000 (tujuh puluh miliar rupiah) pada tahun 2012 akan menjadi Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) pada tahun 2014.

Penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan PSAK Nomor 62 (PSAK 62) tentang kontrak asuransi yang merupakan konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) atau standar laporan keuangan internasional, mulai diterapkan pada akhir tahun 2012. PSAK 62 memberikan panduan yang lebih spesifik terkait dengan pengakuan dan pengukuran pendapatan, beban, dan liabilitas yang timbul dari kontrak asuransi. Jadi pencatatan laporan keuangan tidak lagi berdasarkan entitas, melainkan membedakan transaksi premi proteksi dan investasi. Regulator bertujuan agar semua perusahaan asuransi di Indonesia siap dengan PSAK 62 atau IFRS sebab jika penerapan ini menunggu lebih lama, kesenjangan antara standar akuntasi lokal dan standar akuntasi internasional akan semakin lebar.

Pertanggungjawaban keuangan kepada para tertanggung di dalam asuransi jiwa mempengaruhi penyajian laporan keuangan. Laporan keuangan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur estimasi, misalnya estimasi jumlah premi yang belum merupakan pendapatan, estimasi jumlah klaim yang terjadi namun belum dilaporkan dan pihak tertanggung (pembeli asuransi) membayar premi asuransi terlebih dahulu kepada perusahaan asuransi sebelum peristiwa yang menimbulkan kerugian yang diperjanjikan terjadi.




Unsur-unsur pendapatan asuransi yang sesuai dengan SAK yaitu:

1. Pendapatan underwriting (premi tanggungan sendiri), yang terdiri dari premi kotor, dikurangi premi reasuransi dan dikurangi atau ditambah kenaikan atau penurunan premi yang belum merupakan pendapatan.

2. Cadangan teknis adalah dana yang harus disisihkan untuk memenuhi kewajiban kepada tertanggung atau pemegang polis. Cadangan teknis terbagi menjadi:

a. Cadangan premi yang belum merupakan pendapatan.

b. Cadangan klaim dalam proses.

c. Cadangan klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan.

d. Cadangan klaim untuk bencana tidak terduga.

Penerapan PSAK 62 atau IFRS ini berpengaruh pada RBC karena bisa menggerus modal perusahaan hingga 20%. Akibatnya, dikhawatirkan beberapa industri bisa terkena Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) karena tidak memenuhi persyaratan modal minimum yang bisa mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian.

Saat ini, RBC di industri asuransi dilakukan dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dimana perhitungan cadangan teknisnya dengan metode Gross Premium Valuation (GPV) atau penilaian premi kotor dan untuk perhitungan kewajiban pemegang polis (liabilitas) dengan metode Gross Premium Reserve (GPR) atau cadangan premi kotor. Sedangkan aturan yang baru, perhitungan RBC dilakukan dengan Standar Akuntansi Pemerintah yaitu dengan metode net premium atau premi netto.

Menurut Kamus Asuransi (Ali dkk, 2007:133), GPV adalah nilai sekarang dari premi kotor di masa yang akan datang dikurangi dengan nilai sekarang dari maslahat (ahli waris) dan biaya-biaya polis di masa yang akan datang. Sementara itu, GPR menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan, mencerminkan nilai kini estimasi pembayaran seluruh manfaat yang diperjanjikan, termasuk seluruh opsi yang disediakan, dan nilai kini estimasi seluruh biaya yang akan dikeluarkan serta mempertimbangkan penerimaan premi di masa yang akan datang.

Net Premium atau premi netto menurut Kamus Asuransi (Ali dkk, 2007:212), adalah (1) pembayaran premi dikurangi komisi agen; (2) premi asli dikurangi suatu premi kembali; (3) pembayaran netto hanya untuk biaya asuransi, dikurangi biaya-biaya atau ketidaktentuan; (4) suatu premi partisipasi, dikurangi pembayaran dividen-dividen atau diantisipasi.

PSAK 62 atau IFRS juga menjadi tantangan yang harus dihadapi perusahaan asuransi karena PSAK 62 atau IFRS itu belum sepenuhnya dipahami oleh perusahaan-perusahaan asuransi di Indonesia.

Baca juga : Kartu Syariah (Syariah Card), Pengertian, Sumber Hukum, Rukun dan Ketentuan  

Hasil Biro Riset Infobank menyatakan pada 2013 industri asuransi secara umum di Indonesia menghadapi tantangan yang lebih berat dibanding 2012 akibat tantangan perekonomian makro yang cukup besar. Menurut Direktur Biro Riset Infobank Eko Supriyanto, kondisi ekonomi makro akhir-akhir ini terganggu beberapa hal, antara lain inflasi akibat tersendatnya pasokan harga pangan, tingginya angka penjualan otomotif dan properti, serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Selain dari tantangan tersebut, industri asuransi jiwa mempunyai hambatan dari masyarakat atas pandangan terhadap asuransi pada umumnya dan asuransi jiwa pada khususnya. Hal ini terlihat dari penetrasi asuransi jiwa yang masih kecil dibanding populasi masyarakat Indonesia. Kenyataan ini didukung oleh Ketua Umum AAJI yang mengatakan bahwa dari total penduduk Indonesia sebesar 240 juta jiwa, hanya sekitar 43,7 juta orang atau hanya sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia yang memiliki perlindungan asuransi jiwa. Dari 43,7 juta orang tersebut, hanya sekitar 11 juta orang atau hanya 4,5 persen dari total populasi yang memiliki asuransi jiwa individu.


Asuransi memang dibeli dengan harapan tidak akan pernah dipakai. Sama seperti halnya membeli alat pemadam kebakaran, dibeli agar siap menghadapi risiko kebakaran, tetapi berharap tidak akan pernah terjadi risiko kebakaran.

Pembahasan ini dapat memberikan kesimpulan atau menjawab permasalahan yang dipaparkan dengan mengawali pengertian asuransi. Asuransi adalah suatu alat untuk mengalihkan risiko. Pengertian risiko adalah ketidakpastian yang bisa diperkirakan atau diukur, maka ketidakpastian yang tidak bisa diperkirakan tidak termasuk risiko. Perbedaan antara risiko dengan ketidakpastian terletak pada “ada dan tidaknya informasi” tentang ketidakpastian tersebut. Ketidakpastian yang tidak ada informasinya bukan disebut risiko.

Risiko sangat erat hubungannya dengan asuransi mengingat fungsi asuransi mendorong masyarakat untuk lebih memikirkan masa depannya. Berbagai produk asuransi diciptakan dan dipasarkan agar masyarakat dapat berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan dimasa mendatang. Asuransi juga mendorong masyarakat agar tidak tergantung pada pihak lain apabila terjadi risiko. Oleh karena itu asuransi berfungsi sebagai manajemen risiko.

Adapun asuransi harus mempunyai prinsip-prinsip, pertama insurable interest yang maksudnya adalah objek yang diasuransikan harus mempunyai kepentingan secara hukum dan finansial apabila terjadi musibah atas objek yang diasuransikan sehingga berhak menerima ganti rugi. Prinsip kedua utmost good faith yaitu itikad baik. Prinsip ketiga proximate cause yaitu mencari penyebab utama terjadinya suatu risiko. Prinsip keempat indemnity yaitu prinsip ganti rugi dimana perusahaan asuransi hanya mengganti sesuai dengan harga yang wajar. Prinsip kelima subrogation yaitu perusahaan asuransi hanya mengganti sesuai dengan harga yang wajar. Prinsip keenam contribution yaitu perusahaan asuransi hanya wajib membayarkan ganti rugi secara pro rata sesuai dengan tanggung jawab menurut perbandingan yang seimbang.

Jenis-jenis asuransi ada empat macam yaitu asuransi jiwa yang terdiri dari tradisional dan non tradisional, asuransi kesehatan, asuransi harta benda dan asuransi kerugian.

Perbedaan dan asuransi jiwa dan asuransi kesehatan terletak pada manfaat dan masa pertanggungan. Asuransi jiwa dirancang untuk membayarkan sekaligus (lump sum) dalam peristiwa kematian baik akibat sakit atau kecelakaan sedangkan asuransi kesehatan dirancang untuk melindungi nasabah agar tidak mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan yang besar. Asuransi jiwa dapat berlangsung selama seumur hidup atau sesuai jangka waktu yang diinginak nasabah sedangkan asuransi kesehatan dapat berlansung hanya satu tahun kemudian diperpanjang sesuai keinginan nasabah.

Baca juga : Akad Al-Hiwalah atau Hawalah (Pengalihan), Pengertian, Jenis, Sumber Hukum, Syarat dan Ketentuan  

Penulis juga menyimpulkan bahwa asuransi jiwa dan asuransi kesehatan wajib dimiliki oleh masyaraat karena keduanya saling mendukung. Asuransi jiwa tetap penting walaupun sudah punya asuransi kesehatan dari kantor karena perusahaan tidak akan menanggung tertanggung jika tertanggung tidak produktif lagi.

Asuransi kesehatan sangat membantu nasabah pada saat jatuh sakit dan harus di rawat inap dan inipun biasanya sudah disertai dengan asuransi jiwa yang juga penting karena uang yang diperoleh bila meninggal sewaktu-waktu, bisa membantu keluarga yang ditinggalkan. Asuransi kesehatan dapat melindungi masyarakat dari kesulitan ekonomi dalam pembiayaan kesehatan.

Faktor yang mendorong masyarakat untuk mengikuti asuransi jiwa adalah tidak adanya dana darurat untuk mengatasi risiko baik kematian, sakit maupun cacat tetap dan jaminan pekerjaan saat ini apakah bisa menjamin masa depan.

Tantangan perusahaan asuransi jiwa di Indonesia disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang asuransi, pendidikan penduduk Indonesia rata-rata masih rendah maka demand terhadap asuransi dan kesadaran membayar iuran rutin menjadi tantangan berat. Tantangan lain di masa depan adalah kemiskinan, situasi makro ekonomi yang melemah akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, tuntutan penerapan PSAK 62 atau IFRS dan batas waktu pemenuhan modal minimum.

Posting Komentar untuk "Tantangan Perusahan Asuransi Jiwa dan Faktor yang Mendorong Masyarakarat untuk Mengikuti Asuransi"