Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akad Al-Rahn (Penjaman dengan Jaminan), Pengertian, Sumber Hukum, Syarat dan Ketentuan


AKAD AL-RAHN (PINJAMAN DENGAN JAMINAN)


Rahn secara harfiah adalah tetap, kekal, dan jaminan. Secara istilah rahn adalah apa yang disebut dengan barang jaminan, agunan,cagar, atau tanggungan. Rahn yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. Akad rahn juga diartikan sebagai sebuah perjanjian pinjaminan dengan jaminan atau dengan melakukan penahanan harta milik si peminjaminan sebagai jaminan atas pinjaminan yang diterimanya.

Akad rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang berutang. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian pada hakekatnya adalah kewajiban pihak yang menggadaikan (rahin), namun dapat juga dilakukan oleh pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan biayanya ditanggung rahin.

Apabila barang gadaian dapat diambil manfaatnya, misalnya mobil maka pihak yang menerima barang gadaian boleh memanfaatkannya atas seizing pihak yang menggadai sebaliknya ia berkewajiban memelihara barang gadaian.

Untuk barang gadai berupa emas tentu tidak ada biaya pemeliharaan, yang ada adalah biaya penyimpanan. Penentu besarnya biaya penyimapanan dilakukan dengan akad ijarah.

Baca juga : Hukum Mewarnai Jenggot dengan Warna Hitam, Bolehkah?  

Pada saat jatuh tempo yang berutang berkewajiban untuk membayar utangnya. Apabila ia tidak dapat melunasinya maka barang gadaian dijual kemudian hasil penjualan bersih digunakan untuk melunasi utang dan biaya pemeliharaan yang berutang. Apabila ada kelebihan antar harga jual barang gadaian dengan besarnya utang maka selisihnya diserahkan kepada yang berutang tetapi apabila ada kekurangan maka yang berutang tetap harus membayar sisa utangnya tersebut.

Dalam rahn, barang gadaian tidak otomatis menjadi milik pihak yang menerima gadai (pihak yang memberi pinjaman) sebagai pengganti piutangnya. Dengan kata lain fungsi rahn ditangan murtahin (pemberi utang) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang berutang). Namun, barang gadaian tetap milik orang yang berutang.


Rahn tajlisi


Selain akad rahn, pada tahun 2008 MUI juga mengeluarkan fatwa tentang rahn tajlisi (fidusia). Fatwa ini dikeluarka dalam rangka mengurangi kendala yang timbul sehubungan masalah jaminan khususnya dalam masalah pemeliharaan dan pemanfaatan jaminan.

Fidusia didefinisikan sebagai: pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. (UU No.42/1999). Dan dapat diterapkan untuk barang bergerak dan barang tidak bergerak, baik wujud maupun tidak berwujud,sehingga menjadi lebih luas cukupannya. Jika perbankan syari’ah menggunakan akad rahn yang ada, maka berarti yang melakukan penyimpana jaminan adalah bank syari’ah, tetapi dengan rahn tajlisi (fidisia) maka pihak yang menggadaikan dapat memanfaatkan barang yang dijamin serta yang menanggung biaya pemeliharaan.

Agar sesuaidengan syari’ah, maka akad rahn tajlisi harus memenuhi hal-hal sebagi beriku:

a) Biaya pemeliharaan harus ditanggung oleh pihak yang menggadaikan, namun jumlah biaya pemeliharaan tidak boleh dihubungkan dengan besarnya pembiayaan.

b) Pihak penerima gadai dapat menyimpan bukti kepemilikan sedangkan barang yang digadaikan dapat digunakn pihak yang menggadaikan denga izin dari penerima gadai.

Baca juga : Hukum Menerima Uang Lembur Tanpa Bekerja, Bolehkah?  

c) Jika terjadi eksekusi jaminan, maka da[pat dijual oleh pihak penerima gadai tetapi harus dengan izin dari pihak yang menggadaikan sebagai pemilik.

Berdasarkan persyaratan tersebut maka rahn tajlisi ini sama denga rahn biasa, yang membedakan hanya masalah pemanfaatan dan pemeliharaan saja. Oleh karena itu, dasar hukum dan ketentuan syari’ah akad sama dengan akad rahn.

Sumber hukum


a) Al-qur’an

“jika kamu dalm perjalanan (dalm bermuamah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, mak hendaklah ada orang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang”.(Qs al-baqarah, 283)

b) Al-hadits

Dari abu Hurairah ra bahwa rasulullah saw bersabda: “punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar”.(riwayat bukhari No.879).


Rukun dan ketentuan syari’ah


Rukun al-rahn ada 4 yaitu:

1. Pelaku, terdiri atas: pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang menerema gadai (murtahin).

2. Objek akad berupa barang yang digadaikan (marhun) dan utang (marhun bih).

3. Syarat utang adalah wajib dikembalikan oleh debitur kepada kreditur, utang dapat dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harys jelas (harus spesifik).

4. Ijab Kabul / serah terima.

Baca juga : Bolehkah Menolak Jabatan Keagamaan Karena Alasan Tertentu?  

Ketentuan syari’ah yaitu:

1. Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.

2. Objek yang digadaikan (marhun).

a. Barang gadai (marhun):

1. Dapat dijual dan nilainya seimbang;

2. Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan;

3. Harus jelas dan dapat ditentukan secar spesifik;

4. Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan);

b. Utang (marhun bih), nilai utang harus jelas demikian juga tanggal jatuh temponya.

3. Ijab Kabul, adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha atau rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

Posting Komentar untuk "Akad Al-Rahn (Penjaman dengan Jaminan), Pengertian, Sumber Hukum, Syarat dan Ketentuan"