Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Problematika Peserta Didik Usia Sekolah Menengah dan Solusinya


Problematika Peserta Didik Usia Sekolah Menengah dan Solusinya


Permasalahan yang dialami manusia tidak akan pernah putus sampai ajal menjemput, permasalahan manusia akan semakin memuncak ketika mereka menginjak usia transisi dimana keingintahuan yang sangat tinggi dengan semangat yang menggebu-gebu akan sia-sia tanpa bimbingan yang terarah, perkiraan usia transisi manusia yaitu ketika mereka berada di jenjang sekolah tingkat menengah, ketika mereka menginjak remaja dan dewasa awal, mereka lebih tenar dengan istilah ABG (anak baru gede).

Dalam buku karangan Prof.Dr.H.Sunarto dan Dra.Ny.B.Agung Hartono dalam bukunya perkembangan peserta didik, menerangkan beberapa permasalahan remaja sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhannya sebagai berikut:

1. Upaya untuk dapat mengubah sikap dan perilaku kekanak-kanakan menjadi sikap dan perilaku dewasa, tidak semuanya dapat dicapai dengan mudah oleh mereka. Pada masa ini remaja menghadapi tugas-tugas besar , sedang dipihak lain harapan ditumpukan pada mereka untuk dapat meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan sikap dan pola perilaku. Kegagalan mengatasi ketidakpuasan ini dapat mengakibatkan menurunnya harga diri, dan akibat lebih lanjut dapat mengakibatkan remaja bersikap keras dan agresif atau sebaliknya bersikap tidak percaya diri, pendiam, atau kurang harga diri.

Baca juga : Peranan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Terhadap Guru dan Murid  

2. Sering kali remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan fisiknya. Hal ini disebabkan pertumbuhan tubuhnya dirasa kurang serasi, walau hal ini tidak terjadi pada semua remaja.

3. Perkembangan fungsi seks pada masa ini dapat menimbulkan kebingungan remaja untuk memahaminya, sehingga sering salah tingkah dan perilaku yang menentang norma (bagi remaja laki-laki) serta berperilaku mengurung diri (bagi remaja perempuan).

4. Dalam memasuki kehidupan bermasyarakat, remaja yang terlalu mendambakan kemandirian dalam artian menilai dirinya cukup mampu untuk mengatasi problema kehidupan, kebanyakan menghadapi berbagai macam permasalahan, terutama masalah penyesuaian emosional. Kehidupan bermasyarakat menuntut mereka untuk banyak menyesuaikan diri, namun yang terjadi semuanya tidak selaras dengan kenyataan. Dalam hal ini terjadi ketidak selarasan antara pola hidup masyarakat dan perilaku yang menurut remaja baik, remaja merasa selalu disalahkan dan akibatnya meraka frustasi dengan tingkah lakunya sendiri.

5. Harapan-harapan untuk dapat berdiri sendiri dan untuk hidup mandiri secara sosial ekonomis akan berkaitan dengan berbagai masalah untuk menetapkan berbagai jenis pekerjaan dan jenis pendidikan. Penyesuaian sosial merupakan salah satu yang sangat sulit dihadapi oleh remaja.

6. Berbagai norma dan nilai yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat merupakan masalah tersendiri bagi remaja, sedang dipihak remaja merasa memiliki norma dan nilai kehidupan yang dirasa lebih sesuai dari pada nilai dan norma dikalangan masyarakat luas.

Permasalahan yang terjadi pada anak usia sekolah menengah timbul atas dua factor yang sangat mempengaruhi proses perkembangan mereka, dua factor itu adalah:

  • Faktor intern siswa 

yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.

Permasalahan intern siswa ini mencakup semua permasalahan yang timbul dari diri siswa dari berbagai aspek yang pengaruhi diri siswa itu sendiri.

Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik siswa dalam dirinya, yakni:

1. Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual / intelegensi siswa.

Dari pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita alami dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan yang kita pelajari, kalau memang sistem akal kita dalam hal mengolahnya dengan cara yang memadai, maka semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita, akan tetapi kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu, apalagi yang telah kita pelajari dengan tekun justru sukar diingat kembali dan mudah terlupakan.

Lupa ialah: hilangnya kemampuan untuk menyebut kembali atau memperoduksi kembali apa-apa sebelumnya yang telah kita pelajari. Menurut Gulo (1982), dan Reber (1988), mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang telah dipelajar. Dengan demikian lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.

Faktor-faktor penyebab lupa


Pertama, lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam system memori siswa. Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang telah disimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru, peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang sudah dikuasai dalam jangka waktu yang pendek. Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan reproaktif apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran yang telah lebih dahulu tersimpan.

Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja maupun tidak, penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan, yaitu: karena item informasi yang diterima kurang menyenangkan, karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif, karena item informasi yang diproduksi tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.

Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dan waktu mengingat kembali (Andeson 1990).

Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu, jadi meskipun seorang siswa telah mengikuti proses belajar-mengajar dengan tekun dan serius, tetapi karena suatu hal minat dan sikap siswa tersebut menjadi sebaliknya maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.


Kiat mengurangi lupa dalam belajar


Sebagai seorang guru / calon guru kita harus dapat mengurangi peristiwa lupa yang sering dialami oleh para siswa bukan mencegahnya, karena lupa itu hal yang manusiawi dan mungkin anda tidak mungkin bisa mencegahnya.

Namun sekedar berusaha mengurangi proses terjadinya lupa yang sering dialami oleh para siswa dapat anda lakukan dengan berbagai kiat diantaranya sebagai berikut:

a. Overlearning (belajar lebih)

Artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu, overlearning terjadi apabila respon atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respon tersebut dengan cara diluar kebiasaan, diantara contohnya ialah pembacaan teks pancasila pada setiap hari senin yang memungkinkan ingatan siswa pada P4 lebih kuat

Baca juga : Pengertian dan Teori Perkembangan Sosial Menurut Para Ahli  

b. Extra study time ( tambahan waktu belajar)

Ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau frekuensi aktifitas belajar atau juga bisa disebut penambahan jam waktu belajar. Misalnya dari satu jam menjadi satu setengah jam, dari satu kali sehari menjadi dua kali dalam sehari

c. Menemonic device (muslihat memori)

Ialah kiat khusus yang dijadikan alat pengait mental untuk memasukkan item-item informasi kedalam sistem akal siswa. Muslihat ini beragam caranya diantaranya ialah dengan bentuk not yang dijadikan sebagai nyanyian anak-anak TK, atau juga dengan singkatan huruf-huruf tau nama-nama istilah yang harus diingat oleh siswa.

2. Yang bersifat afektif (ranah Rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.

Yang termasuk dalam ranah rasa adalah rasa jenuh, secara harfiah arti kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun, selain itu jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan. Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber, 1988).

Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan. Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada umumnya tidak berlangsung selamanya, tetapi dalam rentan waktu tertentu saja

Seorang siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi dan pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan diam ditempat. Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motifasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum sampai ketingkat keterampilan berikutnya.

Faktor penyebab dan cara mengatasi kejenuhan belajar


Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum siswa tertentu sampai pada tingkat keterampilan berikutnya (Chaplin, 1972). Selain itu kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmaninya karena bosan dan keletihan. Namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada siswa yang bersangkutan.

Menurut Cross dalam bukunya the psychology of learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Keletihan indra siswa

2. Keletihan fisik siswa

3. Keletihan mental siswa

Keletihan fisik dan keletihan indra pada umumnya dapat dikurangi lebih mudah setelah siswa beristirahat cukup dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi, sebaliknya keletiha mental tidak dapat diatasi dengan cara yang mudah, itulah sebabnya keletihan dipandang sebagai faktor utama penyebab utama munculnya kejenuhan belajar.

Sedikitnya ada empat faktor yang menyebabkan keletihan mental siswa. Antara lain:

1. Karena kecemasan siswa terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri

2. Karena kecemasan siswa terhadap standar keberhasilan bidang-bidang studi tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa merasa bosan.

3. Karena siswa berada pada situasi kompetitif yang ketat dan menuntut untuk lebih kerja keras

4. Karena siswa mempercayai konsep kerja akademik yang optimum, sedangkan dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarakan ketentuan yang ia buat sendiri.

Selanjutnya, kiat-kiat untuk mengatasi keletihan mental yang menyebabkan kejenuhan belajar antara lain:

1. Melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi.

2. Mengubah jadwal belajar yang memungkinkan siswa belajar lebih giat.

3. Mengubah atau menata kembali lingkungan belajar siswa yang memungkinkan siswa dapat belajar lebih menyenangkan.

4. Memberikan motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk lebih giat dalam belajar.

5. Siswa harus berbuat nyata atau tidak pantang menyerah dengan cara belajar dan belajar lagi.




  • 2. Faktor ekstern siswa

yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa. Hal ini meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas belajar siswa, faktor ini dapat dibagi tiga macam :

  1. Lingkungan keluarga, lingkungan keluarga menjadi faktor penting dalam menanamkan pendidikan karakter anak, di luar faktor pendidikan di sekolah serta lingkungan sosial. Lingkungan keluarga ini, bisa dimulai dari situasi dalam keluarga dan pola pendidikan yang dilakukan. Jika pola pendidikan karakter di tengah keluarga sudah terbangun dengan baik, dengan sendirinya anak akan lebih mudah untuk menerima pendidikan karakter di sekolah. Demikian pula saat anak harus bersinggungan dengan lingkungan sosial. Namun hal ini berbeda jika terjadi kemerosotan dalam hubungan keluarga, baik itu berupa kurang perhatiannya orangtua atau konflik yang sering terjadi dalam lingkungan keluarga sangat mengganggu proses pembelajaran seorang siswa yang masih mencari jati diri yang sesuai dengan karakternya, ketidak harmonisan hubungan antara ayah dengan ibu sangatlah menghambat kesuksesan pendidikannya, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga juga sangat mempengaruhi terbentuknya penerus bangsa yang berpendidikan tinggi.
  2. Lingkungan perkampungan/masyarakat, masyarakat adalah bagian keluarga besar bagi para remaja yang tidak ingin mengetahui keadaan anaknya dan menuntunnya kejalan yang benar jika mereka tersesat, justru seorang anak harus mengetahui dan menjaga keadaannya sendiri dengan berbagai macam karakter anggota keluarga yang berbeda-beda.
  3. Lingkungan sekolah, kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar sangat mengganggu sekali pada proses pendidikan yang dilaksanakan oleh peserta didik usia sekolah menengah, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah juga mengganggu terlaksananya pendidikan seorang siswa.

Selain faktor yang bersifat umum diatas ada faktor-faktor lain yang menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor khusus yang dapat dipandang adalah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidak mampuan belajar). Sindrom (syindrom) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1998) yang menimbulkan kesulitan belajar.

Akan tetapi siswa yang mengalami sindrom-sindrom diatas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal, bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal Brain Disfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Reber, 1988).

Problematika atau masalah yang bersifat ekstern itu timbul dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Pada usia sekolah menengah peserta didik menginginkan sesuatu kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Mereka ingin selalu diakui sebagai pribadi, ia ingin bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, pada usia ini orang tua tidak terlalu mengekang terhadap kebebasan atau bahkan meniadakan kebebasannya. Jadi, dalam hal ini orang tua harus memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil keputusannya sendiri mengenai hal-hal yang akan dilakukannya.

Pada usia sekolah menengah peserta didik sudah mulai memikirkan tentang hal-hal yang benar dan yang salah serta tentang norma-norma untuk membimbing tingkah lakunya. Ia mulai memperhatikan konsep-konsep mengenai hal-hal yang benar dan yang salah, ia tidak mau begitu saja menerima pendapat-pendapat dari orang lain. Selain itu, masalah yang lebih penting lagi adalah apa yang disebut dengan kesenjangan generasi antara peserta didik dengan orang tua, kesenjangan ini sebagian disebabkan karena adanya perubahan radikal dalam nilai dan standar perilaku yang biasanya terjadi dalam setiap perubahan budaya yang pesat, sebagian juga disebabkan karena dalam masa remaja lebih banyak memiliki kesempatan untuk pendidikan sosial budaya yang lebih besar.

Hubungan orang tua dengan anak akan membaik ketika orang tua mulai menyadari bahwa anak-anak mereka bukan anak kecil lagi. Mereka memberi banyak keistimewaan dan sekaligus bertanggung jawab serta prestasi belajar yang lebih baik.

Untuk mengembangkan kepribadian anak secara sempurna maka ada beberapa hal yang harus diterapkan oleh orang tua pada usia sekolah menengah antara lain:

a. Bersikap tidak membedakan

Salah satu cara yang salah yang sering dilakukan oleh orang tua yang membuat anak menjadi jahat adalah sikap membedakan. Sebagian orang tua kadang lebih condong pada anak laki-lakinya dan juga sebaliknya lebih condong pada anak perempuan. Sikap membedakan yang demikian ini akan meninggalkan pengaruh negatif pada kejiwaan anak, pengaruk negatif ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kedewasaannya yang kemudian akan mengantar anak pada kehancuran bahkan tidak jarang sikap negatif ini menular pada anak cucu mereka.

b. Perhatian dan pengarahan yang baik

Salah satu sarana untuk menghindarkan anak dari sikap jahat adalah dengan pendekatan psikologis, orang tua harus bersikap lebih mengerti pada kondisi anak. Ketika hendak membenarkan sesuatu yang salah pada anak orang tua tidak boleh menggunakan kekerasan dan meluapkan emosi.

Orang tua harus berbicara dengan lemah lembut yang disertai dengan nasehat-nasehat. Sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thoha ayat 44 yang artinya “maka berbicaralah kamu keduanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah dia ingat atau takut”.

Baca juga : Orientasi Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Individual, Perkembangan dan Permasalahan  

c. Menanamkan taqwa dalam jiwa anak. Seluruh dosa sebenarnya adalah sifat-sifat yang hina, untuk menyelamatkan diri dari hal tersebut jalan keluarnya adalah menanamkan ketaqwaan pada jiwa anak. Apabila tangkai-tangkai pohon kejahatan itu layu dan daun-daunnya rontok berjatuhan, maka akar-akarnya akan tumbang dan mati, artinya dalam kehidupan sosial terdapat sifat-sifat jelek yang ada pada diri manusia seperti kikir, takabur, suudzon dan lain-lain. Jika seseorang dapat menahan dari segala sifat-sifat buruk tersebut maka dia akan terlepas dari dosa-dosa, begitu juga pada anak, pendidikan seperti ini perlu ditanamkan oleh orang tua demi kebaikan jiwa pada diri anak.

Posting Komentar untuk "Problematika Peserta Didik Usia Sekolah Menengah dan Solusinya"