Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengobatan Terapi Penderita Insomnia, Teknik Farmokologis dan Non-Farmokologis



Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala, namun gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivias penderita, terutama penderita dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu sendiri.

Terapi Farmakologis

Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia jangka pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan pengobatan insomnia:

1) memiliki efek samping yang minimal;

2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan

3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu.

Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan miscellaneous sleep promoting agent.

Baca juga : Bunga Pacar Air (Impatiens Balsamina), Manfaat Biji, Bunga, Akar dan Daun  

a. Benzodiazepine

Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita insomnia karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang menggunakannya. Selain itu, munculnya obat baru yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini. Kerja obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post-synaptic, dimana obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah : triazolam, temazepam, dan lorazepam.

Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK). Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama maupun kerja singkat.

b. Non-benzodiazepine

Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip dengan benzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan. Efek samping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Zolpidem merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang banyak digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit GABA reseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada penderita.

Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu pada reseptor subunit α-1 GABA reseptor.3,11 Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior berbanding zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena masa kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.



c. Miscellaneous sleep promoting agent

Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini masih belum mempunyai dibuktikan secara signifikan. Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural. Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar pineal. Melalui penyelidikan, sekresi melatonin meningkat sewaktu onset tidur dimulai dan mulai menurun saat bangun tidur.3 Ada penelitian yang menyebut, sekresi melatonin ini juga terkait intesnsitas cahaya, dimana produksinya meningkat saat hari mulai gelap dan berkurang saat hari mulai cerah, sesuai siklus tidur manusia. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun tidur pada suprakiasmatik pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi yang menyatakan pemberian melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi Farmakokinetik dari melatonin belum dapat ditemukan secara pasti karena sangat tergantung pada dosis, penyerapan oleh tubuh, waktu adminitrasi dan juga bentuk sediaan. Belum ada penelitian tentang efek samping melatonin, namun dinyatakan pada beberapa penelitian, melatonin menimbulkan pusing, sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan pada penderita. Dengan pemberian megadose (300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovari.3 Oleh itu hindari pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui. Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine citrate, diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivate yang telah mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari obat ini dalam penanganan insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan karena penelitian keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia belum menemukan bukti yang kuat.

Baca juga : Bunga Kenanga (Cananga Odorata), Obat Demam, Rematik, Kudis dan Sakit Kepala

Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi kesulitan tidur. Data terkumpul menyatakan 13.3% penderita dari usia 18-45 tahun mengkonsumsi alkohol untuk mengatasi gangguan tidur, namun ini tidak mempunyai bukti yang nyata. Alkohol mempunyai efek yang bervariasi terhadap siklus tidur. Alkohol diduga dapat menyebabkan tidur yang terganggu diengah-tengah siklus tidur dan memperpendek fase REM. Selain tiu, alkohol dapat menyebabkan ketergantungan, toleran dan penggunaan yang berlebihan.2,3 Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline, doxepine, dan mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas penggunaan antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi. Namun, obat ini bisa diberikan karena tidak memberikan efek samping dan harga obat ini yang sangat murah.3 Kava-kava, suatu pengobatan alternatif yang diesktrak dari akar pohon Polynesian, Piper methysticum sp. Ekstrak ini dipercayai mengandungi zat aktif yang mengeksitasi tingkat selular yang bisa menimulkan efek anxiolitik dan sedatif. Zat ini mempunyai onset yang cepat dan efek mengantuk di siang hari yang minimal. Namun begitu, zat ini dilarang di Eropah karena bersifat hepatotoksik. Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek sedatif, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada penderita insomnia akut. Efek samping yang ditimbulkan tidak jelas dan efektifitas zat ini belum dapat dibuktikan secara pasti. Aromaterapimembantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.
Tabel 2. FDA Aprroved Seddative-Hypnotic Agents by Mechanism of Action

Tabel 3. Dosis, Awitan dan Waktu Paruh Obat Insomnia


Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

  • Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)

Misalnya pada gangguan anxietas

  • Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)

Misalnya pada gangguan depresi

  • Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).

Misalnya pada gangguan stres psikososial.


Pengaturan Dosis :

  • Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
  • Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
  • Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
  • Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian :

  • Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
  • Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping :

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :

  • Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) à gejala rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
  • Waktu paruh sedang, seperti Estazolam à gejala rebound lebih ringan
  • Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam à menimbulkan gejala “hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”
  • Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat :

  • Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”
  • Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
  • Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Kontraindikasi :

  • Sleep apneu syndrome
  • Congestive Heart Failure
  • Chronic Respiratory Disease
  • Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).

Terapi Non-Farmakologis


Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita insomnia karena tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan penderita untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat yang diberikan oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa diterapkan seperti yang dibahas di bawah ini :7,8

a. Stimulus Conrol

Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset tidur dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat dipercepat. Malah dalam suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam menjalankan metode ini, seperti : 7,8,10

  • Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu tidur,
  • Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual.
  • Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur
  • Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali
  • Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
  • Hindari tidur di siang hari

b. Sleep Restriction

Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur. Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk diterapkan pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol sleep restriction seperti di bawah : Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam tidur/jumlah waktu di tempat tidur x 100) Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90% Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan Jangan tidur kurang dari 5 jam Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari 75%.

c. Sleep Hygiene

Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan, seseorang dengan kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian lain menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain ke tempat tidur, sehingga mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti dibawah : Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau panas Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita Hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang berat sebelum tidur

d. Cognitive Therapy

Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive therapy dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan pengobatan dengan medikamentosa.

Komplikasi


Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Gambar 3. Komplikasi Insomnia

Baca juga : Urang Aring (Ecliptara Prostrata), Khasiat dan Manfaat menurut Medis

Komplikasi insomnia meliputi :
 
  • Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
  • Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.
  • Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
  • Kelebihan berat badan atau kegemukan
  • Daya tahan tubuh yang rendah
  • Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

Prognosis


Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.

Posting Komentar untuk "Pengobatan Terapi Penderita Insomnia, Teknik Farmokologis dan Non-Farmokologis"