Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Problematika Pendidikan Islam di Indonesia



Pengertian problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu “problematic” yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan. 

Sedangkan ahli lain menyatakan bahwa definisi problema/problematika adalah suatu kesenjangan yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau dengan kata lain dapat mengurangi kesenjangan itu. 

Baca juga : Hakikat Pendidikan Islam di Indonesia

Problematika pendidikan terutama di Indonesia sangatlah bermacam, berbagai kebijakan yang ada terlihat masih belum mampu mengurai simpul permasalahan pendidikan di tanah air. Terlebih model kebijakan yang diambil kurang aplikatif. Akibatnya, hal itu menyulitkan masyarakat untuk terlibat aktif dan mengambil peran penting dalam membangun sistem pendidikan nasional yang lebih komprehensif. Contoh sederhananya adalah kebijakan pemerintah dalam bidang pengembangan kurikulum. Pada setiap periode pergantian pemerintahan, masih saja dimunculkan perubahan atau pengembangan kurikulum pendidikan.

Secara tidak langsung, model kebijakan seperti ini cenderung menghabiskan waktu yang tersedia. Selain itu, titik konsentrasi kebijakan pun hanya berkutat kepada proses sosialisasi dan pengenalan kebijakan, sehingga proses implementasi kurikulum yang menjadi inti dari kebijkaan tersebut, justru terabaikan dan tidak berjalan secara normal. Bila dirinci, permasalah dunia pendidikan Indonesia, setidaknya berkutat pada beberapa hal, yaitu: pertama; belum optimalnya kegiatan pembelajaran karena terkendala keterbatasan sarana dan prasarana terutama dilembaga pendidikan yang terletak di kota kecil dan pelosok.

Potret kondisi sarana prasarana pendidikan di daerah minus ini sungguh mengenaskan. Masih banyak ditemui peserta didik yang harus belajar digedung yang tidak beratap dan tidak berlantai. Pun banyak dijumpai peserta didik kita yang harus belajar tanpa menggunakan tempat duduk; sekedar lesehan di ubin dan sebagainya. Meski sekarang digulirkan program rehabilitasi yang bersifat rutin, namun kiranya masih belum menyentuk lembaga pendidikan dalam skala besar, karena keterbatasan pengalokasian anggaran untuk program ini. 


Kedua; keberadaan data nasional yang diperoleh dari hasil ujian nasional, tidak sepenuhnya didapat melalui proses ujian nasional yang penuh dengan kejujuran. Hasilnya, walaupun secara kuantitatif menunjukkan peningkatan adanya signifikan kenaikan nilai hasil pembelajaran, namun secara kualitatif, proses pelaksanaannya banyak dijumpai praktik-praktik kecurangan sehingga menimbulkan banyak keprihatinan bagi para insan pendidikan di negeri ini.

Ketiga; sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak birokrat di bidang pendidikan yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sejak era Orde Baru sampai reformasi berjalan lebih dari satu dasa warsa, fenomena ini masih saja selalu ada dalam bentuk yang serupa tapi tak sama, bahkan tambah mengkronis dan susah dihapuskan. Dugaan adanya birokrat kita yang “menjual kuota calon pegawai negeri sipil (CPNS) tenaga pendidikan dengan harga yang fantastis dan tidak murah bahkan tidak terjangkau oleh kondisi ekonomi membuat input dari aparatur negara kita dapat dipertanyakan. 


Untuk itu, perlu adanya jalan keluar terhadap problem-problem tersebut. Jika tidak terselesaikan, kondisi ini berpotensi menyebabkan kian sulitnya menghilangkan budaya tidak baik yang telah lama menjangkiti dunia pendidikan. Fenomena ini akan menjadi api dalam sekam yang akan terus membakar bangunan pendidikan kita, serta sulit dipadamkan bila tidak ada upaya serius untuk menghentikannya. Bahkan ruang riil pendidikan muncul istilah tahu sama tahu (TST) yang menggambarkan bagaimana KKN malah menjadi tradisi yang begitu melekat dan itu perlu tindakan mendesak, yakni komitmen kolektif dari kita semua dan masayarkat umum terhadap perubahan positif dalam dunia pendidikan. Selain itu Pendidikan Nasional dapat dilihat dari beberapa pemetaan diantaranya adalah: pertama, sistem pendidikan. 

Peningkatan SDM seperti yang termaktub dalam tujuan pendidikan yakni menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa, berbudi pekerti yang luhur, berkepribadian, mandiri, cerdas, tangguh, kreatif, terampil dan beretos kerja yang tinggi, dinilai sebagai hal yang terlalu ideal dan sulit untuk diwujudkan dalam sistem pendidikan. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan terbentur dalam kepincangan dan kesenjangan. Idealisme tinggi dalam tujuan pendidikan terbentur oleh sistem pendidikan yang belum mendukung untuk mencapai tujuan. Realitas di lapangan sangat mudah untuk menunjukkan terhadap hal ini.

Kedua, ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Sejarah membuktikan bahwa jenjang dan jurusan pendidikan tidak bisa menjamin terhadap perolehan lapangan pekerjaan. Lihat saja berapa banyak orang yang bekerja dalam bidang yang tidak sesuai dengan jurusannya ketika sekolah. Ketiga, depopulasi guru idola. Pada awalnya, sosok guru laksana orang yang penuh dengan sifat kearifan, kesabaran, keteladanan, dan serba tahu. Namun realitas sekarang nampaknya sudah tidak selaras lagi. Memang masih banyak guru yang inspiratif, yang memiliki peran penting dalam memperdayakan dan mengantarkan para siswanya untuk menekuni jalan hidup yang lebih bermakna. 



Kemudian yang keempat, guru dan gajinya. Tugas guru jelas tidak ada duanya, paling berat di antara profesi-profesi lainnya, karena harus menyelamatkan generasi penerus umat manusia dari kebutaan, mencerdaskan bangsa, dan mewarnai keadaan bangsa dimasa mendatang. Tugas mulia ini nampaknya tidak seimbang dengan tingkat kesejahteraan para pahlawan tanpa jasa. Ironisnya, kehidupan para guru tersebut masih jauh dari katagori tentram dan sejahtera.

Dalam sosialisasi kebijakan tentang Pembinaan dan Peningkatan Mutu Madrasah pada Rapat Koordinsasi Pengembangan Kurikulum, pada 14-16 November 2007, di Cisarua Bogor, Dirjen Pendidikan Islam menyatakan adanya beberapa tantangan yang dihadapi oleh madrasah baik yang bersifat internal maupun eksternal. Dari segi internal, tantangan yang dihadapi adalah menyangkut:

a. Mutu; penyelenggaraan dan pengelolaan madrasah umumnya belum dapat melahirkan lulusan yang berkualitas.

b. Pendidik; sebagain besar pendidik dan kependidikan di madrasah belum berkualifikasi sesuai tuntutan perundang-undangan. 

c. Kurikulum; sebagian besar madrasah belum dapat mengimplementasikan standar isi dan belum sepenuhnya dapat mencapai standar kompetensi lulusan minimal. 

Persentase lulus Ujian Nasional cukup menggembirakan, kurang lebih 92% tetapi perolehan nilai rata-rata masih rendah.

d. Manajemen; menyelenggaraan dan pengelolaan madrasah, yang 91,4% swasta (tahun 2006), umumnya belum dikelola dengan manajemen yang profesional.

e. Sarana prasarana; belum memadai sarana dan prasarana pada sebagian besar madrasah.

f. Status; belum sepenuhnya percaya diri dalam pengelolaan dan penyelenggaraan dan terbatasnya peluang penegerian sehingga madrasah negeri yang umumnya telah memenuhi standar minimal, hanya berjumlah 8,6% (tahun2006). 

Baca juga : Definisi dan Sejarah Lahirnya Bisnis Waralaba (Franchise) di Indonesia

Selain itu, menurut Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar tantangan yang dihadapi dalam pendidikan adalah dari faktor guru, buku pelajaran, proses pendidikan, alat-alat pelajaran, manajemen sekolah, besarnya kelas sekolah, dan faktor keluarga, sedangkan menurut Nanang Fattah tantangan tersebut diantara lain:

a. Kemampuan keuangan yang tidak memadai;

b. Kepemimpinan kepala sekolah yang tidak kompeten;

c. Organisasi dan komitmen guru yang masih rendah;

d. Persepsi negatif dari masyarakat;

e. Penataan staf;

f. Konflik politik dan rasial;

g. Keterbatasan fasilitas;

h. Komunikasi yang tidak kondusif;

i. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah tidak jelas;

j. Rendahnya peningktan mutu guru;

k. Sertifikasi kependidikan bagi guru, kepala sekolah dan pengawsa yang belum dipenuhi;

l. Peningkatan kesejahteraan guru yang belum memadai. 

Dari beberapa penjelasan di atas dapat di ambil sebuah intisari, bahwa kelemahan pendidikan Islam sesungguhnya disebabkan oleh lemahnya pengelolaan manajemen di lembaga pendidikan terutama yang berbasis Islam, kemampuan sumber daya manusia (SDM) baik di tingkatan pendidik maupun tenaga kependidikan masih tergolong rendah, dan kualitas prestasi dan kurangnya animo dan support masyarakat yang masih juga rendah.



Hal inilah yang menimbulkan kesan bahwa para pengelola lembaga pendidikan Islam cenderung tidak memiliki sikap profesional sama sekali. Dari pola pandangan seperti inilah yang kemudian memunculkan sikap dualisme-dikotomik pendidikan. Dianggapnya masalah pendidikan bukan bagian dari masalah agama sehingga penanganannya belum di jalankan semaksimal mungkin selayaknya orang menjalankan agamanya. 


Gejala ini umumnya masih sangat melekat dikalangan umat Islam sehingga keberadaan lembaga pendidikan Islam menjadi tertinggal apalagi dukungan dari umat muslim juga masih terlihat kurang kuat.

Posting Komentar untuk "Problematika Pendidikan Islam di Indonesia"