Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjawab Tuduhan Seputar Hukum Jinayah


Meski pun Indonesia termasuk negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, namun hukum-hukum jinayat belum pernah diberlakukan.

Di zaman dahulu ketika masih ada kesultanan dan kerajaan Islam, hukum jinayat memang banyak diberlakukan. Namun sejak datangnya penjajah barat hingga mereka pulang lagi, ternyata hukum jinayat belum pernah dikembalikan lagi. Negara Republik Indonesia lebih banyak menggunakan hukum-hukum yang datang dari mantan penjajahnya (baca: Belanda), ketimbang menggunakan hukum jinayat Islam.

Baca juga : Pembagian Jinayah dalam Syariat Islam

Tidak berjalannya hukum jinayat di Indonesia bukan karena diancam oleh mantan penjajah, tetapi justu karena kesalah-pahaman fatal yang melanda bangsa muslim ini terhadap hukum jinayat. Di antara kesalah-pahaman itu antara lain :

1. Usang dan Tradisional

Karena cara memahami syariat Islam yang bermasalah, saat ini kebanyakan umat Islam justru menganggap hukum jinayat Islam atau sistem pidana dalam Islam adalah sistem tradisi hukum yang dianggap sudah usang, hanya seonggok warisan tradisi masa lalu yang layak dilupakan atau dibuang. Hukum jinayat Islam dianggap hanya cocok untuk masyarakat muslim tradisional di zaman dahulu, namun keberadaannya sudah dianggap tidak layak lagi bagi masyarakat modern sekarang ini.

Untuk zaman sekarang ini, ada kecenderungan di tangah umat Islam untuk menepis anggapan bahwa Islam dan hukum jinayat di dalamnya yang dianggap sudah usang dengan cara memasukkan hukum-hukum produk barat yang dianggap lebih modern dan berperadaban.

Kalau tuduhan usang dan tradisional ini datang dari kalangan orientalis non-muslim yang kurang objektif dalam menerawang syariat Islam dari kejauhan, mungkin kita bisa memaklumi keterbatasan mereka. Namun kalau anggapan minor dan bias ini justru datang dari kalangan yang menamakan diri sebagai tokoh cendekia, ulama, akademisi muslim, tentu masalahnya memang sudah amat parah.

Sayangnya, saat ini nampaknya memang anggapan minor dan biasa inilah yang lebih dominan menguasai cara pandang dan stigma masyarakat Islam. Kasus seperti masih dipertahakannya unsur-unsur hukum dari produk barat yang notabene non-muslim ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menunjukkan mentalitas para tokoh umat ini yang mengidap syndrom minder pada taraf akut, rasa tidak percaya diri yang teramat berlebihan, serta cenderung terjebak pada sikap inferiority complex.


Sayangnya lagi, lewat fatwa mereka inilah umumnya umat Islam memahami agamanya. Wajar bila sepanjang perjalanan, posisi dan kedudukan hukum jinayat Islam terus menerus dipojokkan ke sudut yang tidak mungkin baginya untuk ambil peranan. Sebab belum apa-apa sudah terstigma sangat buruk dalam benak para tokoh muslim sendiri.

2. Kejam dan Sadis

Setiap kali kita mendengar istilah hukum Islam, hudud, jinayat dan hukum syariat, pastilah yang terbetik di benak adalah darah, kesadisan, pemenggalan kepala, cambuk dan berbagai bentuk penyiksaan dan kekejaman. Jangankah orang di luar Islam, kita sendiri yang beragama Islam pun akan membayangkan kekejaman dan kesadisan itu.

Baca juga : Dimensi Sosial Dalam Fiqih Haji dan Muamalah

Tuduhan seperti ini agak sulit untuk dijawab, kecuali yang bersangkutan mau sedikit mendalami ilmu fiqih, khususnya fiqih jinayat. Dengan memahami secara mendalam dan lebih luas, maka akan lebih tergambar secara utuh apakah benar anggapan bahwa hukum jinayat itu kejam dan sadis. Sebab kekejaman dan kesadisan itu ternyata hanya kesan di kulit terluarnya saja, ketika kita tidak memahami secara keseluruhannya.

Singkatnya, tidak mentang-mentang seseorang mencuri, lantas bisa langsung dipotong tangannya. Sebab untuk semua itu ada seabreg persyaratan yang manakala salah satunya tidak terpenuhi, hukum potong tangan tidak bisa dilakukan.

Tidak mentang-mentang seseorang berzina lantas bisa main cambuk atau rajam seenaknya. Sebab ada sekian banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mencambuk atau merajam pezina. Sebuah fakta yang banyak sekali umat Islam ini tidak tahu, bahwa ternyata di masa Rasulullah SAW tidak pernah ada kasus pezina yang dirajam karena adanya kesaksian dari 4 orang.

Mengapa demikian?

Karena syarat untuk menjadi saksi itu begitu

berat, harus laki-laki, harus 4 orang, harus sudah baligh, berakal, dan yang nyaris jadi mustahil adalah ketentuan bahwa mereka harus melihat secara bersama-sama dalam waktu yang sama dan tempat yang sama, bagaimana masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Kalau tidak ada kesaksian sampai sejauh itu, maka hukum cambuk atau rajam gugur dengan sendirinya.

Mak di masa Nabi SAW, yang dicambuk atau dirajam hanyalah pada kasus dimana si pelaku zina datang sukarela menyerahkan diri dan berikrar di depan beliau SAW bahwa telah berzina. Itupun ketika ada yang sedang menjalani hukuman lalu merasa tidak sanggup, oleh Nabi SAW diminta agar hukumannya segera dihentikan.


Amat bisa dimaklumi kalau banyak orang di luar agama Islam tidak bisa memahami secara utuh hukum jinayat Islam ini, sebab di kalangan umat Islam secara internal sendiri ternyata masih banyak yang tidak paham masalah-masalah detail seperti ini. Kebanyakan kita umat Islam ini hanya tahu kulit-kulit terluarnya saja, itu pun didapat dengan cara yang teramat bias.

Jalan keluarnya adalah kembali belajar ilmu fiqih secara benar, dan khususnya ilmu fiqih jinayat secar a original dari sumber aslinya. Kalau bukan umat Islam yang mempelajarinya, lalu apakah kitaberharap orang-orang kafir di luar Islam yang mempelajarinya?

3. Hukum Padang Pasir

Tidak sedikit umat Islam yang beranggapan bahwa hukum Islam khususnya fiqih jinayat adalah hukum jahiliyah yang diimpor dari produk zaman jahiliyah Arab padang pasir. Gaya-gaya hukuman seperti cambuk, rajam, penggal kepala, potong tangan, penyaliban dan pembuangan dianggap hasil turunan asli dari gaya hidup keras khas manusia di luar peradaban maju.

Lalu secara imajiner dibayangkan bahwa ketika datang Nabi Muhammad SAW, produk-produk hukum padang pasir itulah yang diadaptasi masuk ke dalam hukum Islam.

Baca juga : Dimensi Sosial Dalam Fiqih Puasa

Oleh karena itu di hari ini ada upaya untuk membuang produk-produk hukum versi padang pasir ini untuk disesuaikan dengan hukum-hukum barat yang dianggapnya lebih manusiawi dan berperadaban.

Tidak sedikit kalangan intlektual dan cendekia serta kalangan menyebut diri sebagai ulama yang terpesona dengan teori hukum padang pasir ini. Sayangnya, silap mereka dalam hal ini kemudian malah dikembangkan di tengah khalayak muslim yang dengan lugunya mengamini apapun yang dikatakan mereka. Akhirnya jadilah anggapan bahwa hukum jinayat ini adalah produk bangsa barbar yang kejam, said dan tidak berprikemanusiaan resmi menjadi semacam cara pandang ilmiyah hari ini.

4. Produk Fiqih Yang Harus Direkonstruksi Ulang

Maka untuk semua tuduhan di atas, ada semacam upaya untuk melakukan rekosntruksi ulang atas hukum-hukum syariah, khususnya fiqih jinayah. Alasannya bahwa semua hukum itu semata-mata hasil ijtihad manusia biasa, yang boleh saja untuk disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan zaman.

Menurut pendapat ini, ilmu fiqih itu adalah ilmu yang sudah tidak lagi relevan dengan zaman sekarang, sementara pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Apa yang di masa lalu dianggap sebagai kebenaran, bisa saja di hari ini berubah menjadi hal yang tidak lagi relevan.


Dan salah satunya yang dianggap sangat mendesak untuk direkonstruksi ulang adalah hukum-hukum jinayat seperti hukum qishash, potong tangan pencuri, cambuk, rajam dan seterusnya.

Semua tuduhan di atas itu akan menjadi semakin merata diyakini oleh umat Islam, ketika sama sekali tidak ada upaya untuk meluruskannya dengan cara yang ilmiyah, intelek dan sabar.

Baca juga : Dimensi Sosial Dalam Fiqih Zakat

Posting Komentar untuk "Menjawab Tuduhan Seputar Hukum Jinayah"