Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dimensi Sosial Dalam Fiqih Puasa


Ada banyak dimensi sosial yang bisa kita gali dalam fiqih puasa, antara lain :

a. Ikut Merasakan Lapar

Dimensi sosial ibadah puasa sudah tidak bisa dipungkiri lagi, yaitu bagaimana orang yang kaya dan berkecukupan dididik oleh ibadah puasa untuk bisa ikut merasakan lapar dan haus, sebagaimana yang dirasakan oleh mereka yang nasibnya kurang beruntung.

Baca juga : Dimensi Sosial Dalam Fiqih Zakat

Pendidikan model ini luar biasa terobosannya, karena tidak pandang bulu. Biar orang kaya dan berkecukupan itu tidak lupa daratan dengan kekayaannya, mereka ‘dipaksa’ untuk merasakan secara fisik bagaimana tidak enaknya jadi orang miskin, lewat ibadah puasa yang bikin lapar dan haus.


b. Anjuran Beri Orang Berbuka

Dimensi sosial ibadah puasa yang lain adalah adanya anjurang untuk memberi makan orang yang berbuka. Anjuran ini tidak main-main, karena pahala yang dijanjikan sebesar pahala orang yang berpuasa juga. Namun dengan syarat bahwa yang memberi makan itu harus berpuasa juga.


Maka bulan Ramadhan adalah bulannya orang miskin yang lapar, karena separuh dari beban hidup mereka sudah terlesaikan, lewat anjuran memberi makan orang berbuka. Tinggal memikirkan separuhnya lagi.

c. Fidyah

Salah satu dimensi sosial ibadah puasa adalah diberlakukannya fidyah mereka tidak mampu menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan bagi orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin. (QS Al-Baqarah)


Baca juga : Dimensi Sosial Dalam Fiqih Thaharah (Bersuci)

d. Kaffarah

Secara bahasa kata kaffarah (كفارة) berasal dari kata al-kafr (الكُفْر) yang bermakna as-satr (السّتْرُ), yaitu menutup. Karena pada hakikatnya kaffarah itu menutup dosa yang terlanjur dilakukan oleh seseorang.

Di antara hal-hal yang mewajibkan seseorang untuk membayar kaffarah puasa adalah melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan, dimana jima’ itu dilakukan justru masih dalam keadaan berpuasa.


Para fuqaha telah bersepakat bahwa siapa yang melakukan perbuatan tersebut, wajib membayar kaffarah. Denda kaffarah itu ada tiga macam, sebagaimana dalil yang ada pada hadits di atas. Pertama, membebaskan budak. Kedua, berpuasa 2 bulan berturut-turut, dan ketiga, memberi makan 60 orang fakir miskin.

Dasarnya adalah hadits berikut ini :

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ r فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَة ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ؟ قَالَ: لا. ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِي اَلنَّبِيُّ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا . فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا ؟ فَمَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا. فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ r حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ : اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ?“. “Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak ?“. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin ?“.”Tidak”. Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi, ”Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku ? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku”. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca juga : Fenomena Ketimpangan Fiqih Sosial di Jalan

Posting Komentar untuk "Dimensi Sosial Dalam Fiqih Puasa"