Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Langkah-Langkah Menghitung Warisan dalam Syariat Islam


Dalam proses penghitungan ada beberapa langkah dasar yang perlu diperhatikan. Langkah dasar yang harus kita perhatikan ini setidaknya ada 6 tahapan. 

1. Tentukan Siapa Yang Meninggal Dunia 

Ketika kita hendak membagi harta warisan maka langkah pertama yang paling penting itu adalah tentukan dahulu siapa yang meninggal dunia. Kenapa demikian? Ya sebab hal ini akan membantu kita untuk melewati langkah selanjutnya yaitu penentuan mana harta milik almarhum dan penentuan siapa saja yang menjadi ahli warisnya. 

Penentuan siapa yang meninggal dunia ini juga sebagai syarat adanya pembagian harta warisan. Jika tidak ada yang meninggal dunia maka tidak ada yang namanya bagi-bagi warisan. Pernah ada seorang jamaah ibu-ibu nangis tersedu-sedu mengadu kepada sang Ustadz perihal pembagian harta warisan. Menurut pengakuan si ibu itu kakak kandung dan adik kandungnya pada berantem gara-gara rebutan warisan.

Baca juga : Perbedaan Antara Hibah, Wasiat dan Waris dalam Syariat Islam

Lalu ditanyalah oleh sang ustadz, ”Bu, yang meninggal dunia itu siapa ya?” dijawab oleh sang ibu, ”tidak ada ustadz”. Ustadznya bingung dan berkata, ”loh, lalu kenapa pada ribut berantem rebutan warisan?”. si ibu menjawab, ”pak ustadz, kami pada berantem sebab orang tua kami tidak adil dalam pembagian harta warisan”. 

Rupanya orang tua mereka itu masih hidup dan habis bagi bagi harta untuk anak-anaknya dengan porsi yang berbeda-beda untuk anaknya. Nah, padahal yang seperti ini namanya bukan bagibagi warisan. Tepatnya ini dinamakan hibah. Sebab orang tua tersebut membagikan hartanya saat masih hidup. 

Yang namanya hibah ya terserah orang tua kita mau ngasih berapa saja ke anak-anaknya. Oleh sebab itu inilah pentingnya dalam perihal bagi waris itu harus ada yang meninggal dunia dulu. Sebab kita ini akan membagi hartanya orang yang meninggal dunia, bukan orang yang masih hidup.


2. Tentukan Harta Warisan Almarhum 

Perkara yang paling penting lagi dalam pembagian harta warisan adalah penentuan mana harta yang betul-betul dimiliki oleh almarhum. Kenapa demikian? Sebab jika ternyata almarhum tidak memiliki harta sama sekali maka tidak ada yang namanya bagi warisan. Lah iya yang dibagi apanya coba? Dan ini juga untuk memastikan mana harta milik suami dan mana harta milik istri. 

Sebab keduanya nanti bisa saling mewarisi jika ada salah satu dari keduanya yang meninggal dunia. Sebagai contoh ada seorang laki-laki yang dari awal menikah hanya modal dengkul saja alias tidak punya apa apa dan ia menikahi seorang wanita yang kaya raya yang memiliki rumah mewah, tanah, kontrakan dan tabungan uang yang banyak. 

Ketika sang suami ini meninggal dunia maka harta yang melimpah tersebut tidak dibagi sebagai harta warisan. Sebab harta yang melimpah itu adalah harta milik sang istri. Milik istri ya tidak ikut dibagi waris. Yang dibagi waris adalah hanya harta yang dimiliki sang suami saja. Tapi sebaliknya jika yang meninggal dunia itu adalah sang istri maka barulah ada pembagian harta warisan. 

Baca juga : Definisi Hibah, Wasiat dan Waris dalam Syariat Islam

Sebab harta yang melimpah tadi itu adalah milik sang istri. Maka kita bagi hartanya sesuai hukum waris sebab sang istri pemilik harta yang meninggal dunia. Jadi, ini penting sekali kita tentukan dahulu mana harta yang betul-betul dimiliki oleh almarhum dan mana yang bukan miliknya.

Satu lagi, ada masalah gono-gini. Apa itu gonogini? Gono-gini adalah harta yang dimiliki bersama oleh suami istri setelah menikah, sehingga nantinya harus dibagi rata. Masing-masing pasangan mendapatkan 50%. 

Namun ternyata dalam agama islam tidak ada yang namanya istilah harta gono-gini. Harta suami yang milik suami, harta istri ya milik istri. Kepemilikan harta harus jelas dari sejak awal pernikahan. Nah, pertama supaya jelas maka kita tentukan dahulu mana harta bawaan sebelum menikah dan mana harta yang baru ada setelah menikah.


Pertama masalah harta bawaan. Misalnya seorang laki-laki sebelum menikah sudah memiliki rumah. Sementara ada seorang wanita sebelum menikah memiliki mobil mewah. Lalu keduanya menikah. Maka harta berupa rumah itu adalah milik sang suami yang jika dia meninggal dunia harus dibagi waris. Adapun mobil itu adalah harta milik istri maka tidak ikut dibagi waris. Sebab mobil tersebut memang milik istri, bukan milik suaminya. 

Kedua masalah harta yang muncul setelah pernikahan. Misalnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Dari awal mereka tidak memiliki harta apa apa. Betul-betul dari nol. Setelah beberapa tahun menikah mereka bisa memiliki rumah sendiri, mobil, tabungan uang, rumah kontrakan 10 pintu dan lain-lain. Tiba-tiba sang suami meninggal dunia. Maka yang terjadi di masyarakat kita biasanya harus gono-gini dulu alias dibagi rata. Milik suami 50% dan milik istri 50%. 

Baru setelah itu dibagi waris yang 50% milik suami. Nah, Kesimpulan yang seperti ini kurang tepat. Harusnya ditentukan dulu siapa yang bekerja. Apakah keduanya sama-sama bekerja mencari uang atau tidak. Apakah ada akad kesepakatan atau tidak dari suami istri untuk memiliki harta secara bersamaan.

Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Madzhab Syafii

Jika tidak ada maka sebetulnya semua harta yang dimiliki setelah pernikahan itu adalah milik suami. Sebab hanya suami yang bekerja dan semua rumah, mobil dan lain-lain itu dibeli dengan menggunakan uang suami. Berarti ini murni harta milik suami. Sehingga semua harta tadi harus dibagi waris. Secara hukum waris islam sang istri hanya berhak mendapatkan 1/8 saja dari harta suaminya. Sisanya harus diberikan kepada anak-anak mereka.

3. Tentukan Ahli Waris Yang Terdaftar 

Ketika kita sudah tahu siapa yang meninggal dunia dan sudah tahu jumlah harta yang akan dibagi maka langkah selanjutnya adalah mendata siapa saja yang termasuk ahli waris. Siapapun yang meninggal dunia maka bayangkan pihak pihak ahli waris di bawah ini: 

Pertama: Ahli waris pasangan hidup yaitu suami atau istri. 

Kedua: Ahli waris furu’ atau keturunan yaitu terdiri dari anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari jalur anak laki-laki dan cucu perempuan dari jalur anak laki-laki. 

Ketiga: Ahli waris ushul atau orang tua yaitu terdiri dari ayah, ibu, kakek dari jalur ayah, nenek dari jalur ayah dan nenek dari jalur ibu. 

Keempat: Ahli waris hawasyi yaitu terdiri dari saudara laki-laki seayah seibu, saudari perempuan seayah seibu, saudara laki-laki seayah, saudari perempuan seayah, saudara laki-laki seibu dan saudari perempuan seibu. Kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu (keponakan), anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan). 

Kemudian paman seayah seibu, paman seayah, anak laki-laki dari paman seayah seibu dan anak laki-laki dari paman seayah. Mereka itu adalah orang menyandang gelar ahli waris. Namun hanya sebatas terdaftar saja. Maksudnya ada sebagian dari mereka yang barangkali terhalangi dari mendapatkan harta warisan sebab ada ahli waris yang menghijabnya.


4. Tentukan Ahli Waris Yang Terhijab 

Setelah kita menentukan siapa saja yang terdaftar sebagai ahli waris maka langkah selanjutnya adalah menentukan siapa saja ahli wais yang tidak terhijab dan siapa saja ahli waris yang terhijab. Masalah hijab ini sangat penting sekali. Oleh sebab itu para ulama mengatakan haram hukumnya berfatwa masalah waris jika tidak menguasai masalah konsep hijab. Untuk penjelasan detail terkait bab hijab silahkan rujuk kembali buku saya yang berjudul “mengetahui konsep hijab”. 

Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Madzhab Hambali

5. Tentukan Bagian Pasti Ahli Waris 

Apabila ahli waris yang berhak menerima harta warisan sudah ditentukan maka langkah selanjutnya adalah menentukan siapa saja dari ahli waris tersebut yang mendapatkan bagian pasti. Perlu diingat bahwa ahli waris yang mendapatkan harta warisan dengan bagian pasti adalah seperti 1/2, 1,4, 1/6, 1/8, 1/3 dan 2/3. Untuk lebih detailnya silahkan rujuk kembali buku saya tentang “mengetahui bagian pasti ahli waris”. 

6. Tentukan Ashabah 

Kemudian langkah selanjutnya tentukan siapa saja dari ahli waris tersebut yang mendapatkan bagian ashabah atau sisa. Tapi hal ini kita lakukan jika memang ada ahli waris ashabah. Sebab dalam beberapa kasus waris terkadang tidak ditemukan ahli waris yang mendapatkan ashabah. Nah, Diantara ahli waris yang mendapatkan ashabah adalah sebagai berikut:

1. Anak Laki-Laki 

2. Cucu Laki-Laki Dari Jalur Anak Laki-Laki 

3. Saudara Laki-Laki Seayah Seibu 

4. Saudara Laki-Laki Seayah 

5. Keponakan Laki-Laki Dari Jalur Saudara LakiLaki Seayah Seibu 

6. Keponakan Laki-Laki Dari Jalur Saudara LakiLaki Seayah 

7. Paman Seayah Seibu 

8. Paman Seayah 

9. Sepupu Laki-Laki Dari Paman Seayah Seibu 

10.Sepupu Laki-Laki Dari Paman Seayah 

Dan masih ada lagi ahli waris lainnya yang juga bisa mendapatkan harta warisan dengan jalur ashabah atau sisa. Misalnya Ayah bisa mendapatkan ashabah ketika almarhum tidak memiliki keturunan.

Posting Komentar untuk "Langkah-Langkah Menghitung Warisan dalam Syariat Islam"