Hajr al-Maal, Klasifikasi dan Hukum Berdasarkan Dalil
Sebagaimana disebutkan dalam definisi hajr harta, bahwa hajr harta dapat dilakukan terkait dengan kemashlahatan dua pihak; pemilik harta dan pihak yang terkait dengan pemilik harta. Atas dasar ini, maka hajr al-maal dapat dibedakan pula menjadi dua jenis, yaitu: hajr harta untuk kemashlahatan mahjur ‘alaihi (pemilik harta yang hartanya di-hajr) dan hajr harta yang dimiliki mahjur ‘alaihi untuk kemashlahatan pihak lain yang terkait dengan mahjur ‘alaihi.
a. Hajr Untuk Kemashlahatan Mahjur ‘Alaihi
Maksud dari hajr harta untuk kemashlahatan mahjur ‘alaihi adalah penahanan harta untuk tidak digunakan oleh pemilik harta (mahjur ‘alaihi), dalam rangka menjaga kemashlahatannya karena pemiliknya dianggap belum memiliki kecakapan dalam penggunaannya. Dan jika harta tersebut secara bebas digunakan olehnya, maka hal tersebut akan mendatangkan bahaya atasnya. Dasar dari jenis hajr ini adalah ayat dalam bab ini, yaitu QS. An-Nisa’ ayat 6:
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya" (QS. An-Nisa’: 6)
Baca juga : MUHAMMADIYAH, Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya
Dalam konteks ayat diatas, syariat memberikan wewenang kepada wali yatim untuk menahan harta yang dimiliki anak yatim (karena sebab mendapatkan warisan ataupun sebab-sebab lainnya) selama belum berumur baligh dan belum memiliki sifat rusyd. Di mana maksud dari sifat rusyd adalah kecakapan dalam mengelola harta untuk tidak jatuh kepada kemubaziran yang membahayakan hidupnya. Namun para ulama juga mengqiyaskan kepada hajr harta anak yatim ini, jenis-jenis hajr lainnya yang didasarkan kepada ‘illat ketiadaan sifat rusyd. Setidaknya ada 4 jenis hajr harta dalam katagori ini:
1) Hajr Harta Anak Kecil (Belum Baligh)
Para ulama sepakat bahwa syariat memerintahkan kepada wali untuk menahan harta yang dimiliki oleh anak kecil yang belum baligh. Dan penahanan itu, tetap dilakukan hingga sang anak berumur baligj dan tampak tanda-tanda kecakapannya dalam mengelola harta atau yang disebut dengan istilah rusyd. Meski demikian, para wali juga tetap diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan dari sang anak seperti makanan dan pakaian, yang diambil dari harta yang dimiliki sang anak itu sendiri.
Dan janganlah kamu serahkan kepada orangorang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa ... (6) (QS. An-Nisa’: 5-6)
2) Hajr Harta Orang Gila
Para ulama juga sepakat bahwa syariat memerintahkan kepada wali untuk menahan harta yang dimiliki oleh orang gila. Apakah karena sebab gila yang bersifat permanen ataupun yang bersifat temporer. Di mana jika orang yang gila tersebut telah siuman atau sembuh dari penyakit gilanya, barulah harta tersebut diserahkan kepadanya. Dan kesapakatan ini didasarkan kepada qiyas awlawi atas penahanan harta orang yang dalam kondisi safih (tidak berakal secara sempurna).
Dan janganlah kamu serahkan kepada orangorang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisa’: 5)
3) Hajr Harta Ma’tuh (Oang Tua Pikun) dan Safih (Orang Idiot)
Para ulama juga sepakat bahwa syariat memerintahkan kepada wali untuk menahan harta yang dimiliki oleh orang yang ma’tuh (pikun) dan safih (orang idiot). Di mana kesapakatan ini didasarkan kepada keumuman QS. An-Nisa’ ayat 5 atau berdasarkan qiyas musawi atas penahanan harta orang yang dalam kondisi safih (tidak berakal secara sempurna).
Dan janganlah kamu serahkan kepada orangorang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisa’: 5)
Baca juga : FIQIH NU, Penjelasan Dalil dan Dasar Hukum
b. Hajr Untuk Kemashlahatan Pihak Yang Terkait Dengan Mahju ‘Alaihi
Sedangkan maksud dari hajr harta yang dimiliki mahjur ‘alaihi untuk kemashlahatan pihak lain yang terkait dengan mahjur ‘alaihi adalah penahanan harta milik mahjur ‘alaihi untuk tidak digunakan karena ada hak orang lain di dalamnya.
Setidaknya ada 5 jenis hajr harta dalam katagori ini:
1) Hajr Harta Muflis
Hajr harta muflis (pailit), atas sejumlah hutang yang belum ditunaikan kepada yang berhak. Hajr ini ditetapkan dalam rangka menjaga hak pemberi hutang.
2) Hajr Harta Fasiq
Hajr harta orang fasiq seperti peminum khamer, untuk tidak digunakan dalam kemaksiatan. Hal ini dalam rangka menjaga agama sesama saudara muslim lainnya.
3) Hajr Harta Orang Yang Sakit Sekarat
Hajr harta orang yang sakit sekarat, untuk tidak menghibahkan hartanya lebih dari 1/3 atau 30 % dari total hartanya. Karena dalam kondisi ini, pemberian yang dilakukannya dapat dihukumi sebagai wasiat. Dan wasiat harta tidak diperbolehkan lebih dari 1/3 harta. Dan ketentuan ini dalam rangka menjaga hak ahli warisnya.
4) Hajr Harta Murtad
Dalam hukum Islam, jika seseorang telah divonis murtad oleh pengadilan dan tidak ada tanda-tanda untuk ia bertaubat, maka hukum yang dijatuhkan adalah hukuman mati. Hal itu dilakukan sebagai suatu penjagaan atas agama umat Islam lainnya dan juga sebagai efek jera untuk tidak mempermainkan agama. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut:
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan diriku adalah utusan Allah, kecuali dalam 3 hal: nyawa dibalas nyawa, orang yang berzina setelah menikah dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Siapapun yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” (HR. Bukhari) Di samping itu, harta yang dimiliki orang yang murtad juga wajib dihajr/ditahan oleh pemerintan, untuk selanjutnya bisa diserahkan kembali kepadanya jika ia bertaubat. Atau menjadi milik negara (baitul maal) untuk kepentingan umat Islam jika diterapkan kepadanya hukuman mati.
Baca juga : FIQIH MUHAMMADIYAH, Dalil Serta Landasan Hukum
5) Hajr Harta Istri
Sebagian ulama seperti mazhab Maliki berpendapay bahwa hajr juga dapat diterapkan pada harta istri. Di mana istri tidak boleh melakukan sedekah dari harta yang ia miliki melalui nafkah suami, lebih dari 1/3 hartanya. Dan jika istri ingin bersedekah dari harta tersebut, lebih dari 1/3 nya, maka ia wajib meminta izin kepada suaminya.
Posting Komentar untuk "Hajr al-Maal, Klasifikasi dan Hukum Berdasarkan Dalil"