Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dimensi Sosial Dalam Fiqih Thaharah (Bersuci)


Lalu mengapa dalam khazanah Fiqih Klasik hal-hal semacam ini tidak diangkat? Kenapa term fiqih klasik tidak dikenal? Apakah selama ini Ilmu Fiqih telah keliru dan salah jalan?

Jawabannya tidak juga, tidak keliru dan tidak salah jalan. Sebab yang disebut-sebut sebagai Fiqih Sosial atau aspek-aspek sosial bukannya tidak ada. Justru ada dan eksis dalam masalah peribadatan sudah ada dan include tanpa kita sadari, bahkan sejak dari bab-bab pertama kajian Fiqih.

Dimensi Sosial Dalam Fiqih Thaharah (Bersuci)

Deretan tema-tema Fiqih biasanya dimulai dari bab Thaharah. Sebutlah dalam urusan thaharah atau bersuci ketika mau shalat atau ke masjid.

Baca juga : Membuang Duri di Jalan Masuk Surga

a. Tidak Mengganggu Dengan Bau Busuk

Bukankah kita diwajibkan berwudhu dan disunnahkan mandi serta mengenakan pakaian yang bersih lalu memakai wewangian? Bahkan yang makan makanan berbau menyengat malah dimakruhkan untuk masuk ke masjid.

Dari segi fiqih soial, semua hal itu meski hukumnya sunnah, namun secara sosial kita dipesan untuk tidak 'menyiksa' atau 'mengganggu' orang lain dan masyrakat, walau hanay lewat aroma yang busuk yang keluar dari tubuh atau mulut kita. Itu fiqih sosial sekali. Sangat sosial bahkan. 

b. Tidak Mengganggu Dengan Pencemaran

Di dalam adab istinja' adalah menjauh dari orang-orang, sehingga WC dalam istilah Fiqih disebut dengan khala' (خلاء) yang maknanya tempat yang sepi.

Pesan Fiqih sosialnya adalah kita diwajibkan untuk menjaga pemandangan buruk di tengah masyarakat lewat tidak membuka aurat di tengah publik.

Sekaligus juga menjaga kesehatan masyarakat dengan cara menghindari buang kotoran di tempat umum. Sebab kotoran itu akan menimbulkan pencemaran yang akan merusak kesehatan masyarakat.


Mungkin ada nanti yang bertanya, kenapa justru di pedesaan yang konon katanya lebih menjalankan agama secara Fiqih, mereka malah kurang menjaga urusan kebersihan ini? Kenapa mereka malah buang hajat di sungai, atau di kebun, atau di semak-semak dan lainnya? Kenapa mereka tidak membangun MCK dan septik tank yang lebih sehat?

Untuk menjawab permasalahan ini, memang kita harus akui bahwa Ilmu Fiqih yang digunakan memang kurang up to date. Zamannya sudah mengalami perubahan yang amat signifikan, namun teksnya tidak pernah mengalami penyesuaian zaman.

Baca juga : Pengertian Zat Murni dan Zat Campuran

Seharusnya teks-teks Fiqih yang digunakan harus dinamis dan selalu menyesuaikan zaman. Di masa lalu, buang hajat di padang pasir itu justru sudah sangat baik, karena pertimbangannya hanya dari pada buang hajat di jalan atau di pemukiman penduduk.

Kalau di padang pasir yang tidak ada penduduknya, maka bau dan pencemarannya tidak akan mengganggu masyarakat. Apalagi di masa itu jumlah populasi masyarakat masih amat terbatas.

Namun ketika zaman berubah, populasi penduduk mengalami ledakan dahsyat, tentu buang hajat di padang pasir itu sudah tidak lagi up to date.

Mulailah orang mengenal WC yang tertutup rapat sehingga tidak ada resiko terbukanya aurat di tengah publik, lalu ada flush yang bisa mendorong kotoran masuk ke saluran pembuangan atau septik tank, bahkan juga dilengkapi dengan ventilasi yang akan membuang bau tidak sedap, serta juga berparfum.

Maka prinsip dasar al-khala' itu sudah bukan lagi bermakna tempat yang sepi dari manusia dalam arti harus jalan kaki jauh keluar wilayah pemukiman. Namun wujudnya menjadi kamar mandi yang bersih, suci, mengkilat, tertutup, bahkan justru jadi mewah.

Dan uniknya, konsep kamar mandi seperti itu justru bisa dibangun di dalam rumah, bahkan di dalam kamar tidur kita.

Padahal di masa lalu, konsep buang hajat di padang pasir itu menimbulkan banyak masalah kerawanan sosial. Salah satu asbabun nuzul atau latar belakang turunnya ayat hijab yang mewajibkan wanita merdeka (bukan budak) untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya ternyata bukan masalah kewajiban menutup aurat.

c. Menghindari Kerawanan Sosial

Tetapi justru karena adanya kerawanan sosial, gara-gara tempat buang hajat itu jauh di luar rumah, bahkan di luar pemukiman penduduk, yaitu di pasang pasir.

Orang-orang fasik di Madinah seringkali mengggangu para wanita di malam hari saat mereka hendak buang hajat. Namun yang diganggu hanya sebatas wanita budak, sedangkan wanita merdeka tentu tidak akan diganggu.

Di siang hari atau dalam kesempatan yang umum, penampilan wanita merdeka dan budak itu bisa dibedakan dengan mudah. Namun bila hal itu terjadi malam hari, sulit dibedakan karena cahaya yang terbatas.

Lalu turunlah ayat hijab Al-Ahzab ayat 59 yang sudah kita kenal bersama. Ternyata di ujung akhir ayat disebutkan hikmah kenapa wanita merdeka diperintahkan pakai jilbab, yaitu biar tidak diganggu orang fasik saat mau buang hajat di malam hari, karena dianggap wanita budak.


Di dalam banyak kitab tafsir kita menemukan penjelasan itu. Sebutlah misalnya Ibnu Katsir misalnya :

قَالَ: كَانَ نَاسٌ مِنْ فُسَّاقِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ يَخْرُجُونَ بِاللَّيْلِ حِينَ يَخْتَلِطُ الظَّلَامُ إِلَى طُرُقِ الْمَدِينَةِ، يَتَعَرَّضُونَ لِلنِّسَاءِ، وَكَانَتْ مَسَاكِنُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ضَيِّقة، فَإِذَا كَانَ اللَّيْلُ خَرَجَ النِّسَاءُ إِلَى الطُّرُقِ يَقْضِينَ حَاجَتَهُنَّ، فَكَانَ أُولَئِكَ الْفُسَّاقُ يَبْتَغُونَ ذَلِكَ مِنْهُنَّ، فَإِذَا رَأَوُا امْرَأَةً عَلَيْهَا جِلْبَابٌ قَالُوا: هَذِهِ حُرَّةٌ، كُفُّوا عَنْهَا. وَإِذَا رَأَوُا الْمَرْأَةَ لَيْسَ عَلَيْهَا جِلْبَابٌ، قَالُوا: هَذِهِ أَمَةٌ. فَوَثَبُوا إِلَيْهَا

Semua hal ini hasil potret keadaan sosio kultural di Madinah kala itu. Tempat buang hajat itu di luar rumah bahkan di luar pemukiman Madinah yaitu di padang pasir.

Baca juga : Pemisahan dan Pemurnian Zat dalam Proses Kimia

Kalau mau buang hajat, harus menunggu gelap malam, biar tidak malu sama onta. Tapi resikonya, wanita budak akan diganggu pemuda jail, sedangkan wanita merdeka tidak diganggu. Lalu antisipasinya : wanita merdeka diwajibkan pakai jilbab.

Lalu zaman berubah, buang hajat tidak lagi harus di padang pasir, maka tidak ada lagi cerita pemuda iseng mengganggu wanita budak. Apalagi hari ini wanita budaknya sudah tidak ada lagi.

Posting Komentar untuk "Dimensi Sosial Dalam Fiqih Thaharah (Bersuci)"