Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Analisis Kritis Problematika Pendidikan


Problematika pendidikan terutama di Indonesia sangatlah bermacam, berbagai kebijakan yang ada terlihat masih belum mampu mengurai simpul permasalahan pendidikan di tanah air. Terlebih model kebijakan yang diambil kurang aplikatif. 

Akibatnya, hal itu menyulitkan masyarakat untuk terlibat aktif dan mengambil peran penting dalam membangun sistem pendidikan nasional yang lebih komprehensif. Analisis penulis dalam hal ini setidaknya ada beberapa hal permasalahan yang sering terjadi di lembaga pendidikan

a. Rendahnya kualitas sarana dan prasarana

Banyak sekali lembaga pendidikan Islam yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Problem ini semakin hari semakin bertambah dengan kurangnya perhatian dari pemerintah, lembaga, maupun masyarakat. 


Upaya yang telah dilakukakn oleh pemerintah sebenarnya telah maksimal, mengingat pemerintah telah memberikan dana sebanyak 20% kepada lembaga. Akan tetapi lembaga belum mampu mengelolah lembaganya dengan baik, sehingga dana yang diberikan oleh pemerintah belum mampu menjawab kekurangan yang ada di lembaga, khususnya pada sarana dan prasarana.

b. Rendahnya kualitas guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Lebih lanjut penulis berasumsi bahwa marak oknum dalam pembeliaan sertifikasi menjadi hal yang lumrah didengar di Indonesia. Sehingga guru pada saat ini hanya mengejar sertifikasi dari pada fokus terhadap proses pembelajaran untuk mendidik siswanya semakin cerdas.

c. Rendahnya kesejahteraan guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Ini merupakan sebuah potret yang sangat memprihatinkan, mengingat tugas guru adalah untuk mendidik, mengajar dan membimbing peserta didiknya untuk menjadi penerus bangsa. Akan tetapi guru masih harus disibukkan dengan kesejahteraan kehidupan mereka. Sehingga secara tidak langsung ini akan berdampak pada kualitas anak didik yang semakin hari semakin rendah dan tentunya akan berpengaruh terhadap moralitas anak bangsa di Indonesia. 



d. Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan 

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2017 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 2016 mencapai 93,02% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SMP/MTs masih yaitu 76,99%. Sedangkan di tingkat SMA 63, 7%. Penurunan Angka partisipasi murni tersebut perlu di cegah dengan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. 


Terutama didaerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau oleh pemerintah, masih banyak sekali di Indonesia daerah-daerah yang masih menggunakan fasilitas apa adanya untuk proses belajar mengajar. Kita dapat saksikan entah melalui media sosial, media cetak ataupun disekeliling kita bahwa sangat banyak sekali peserta didik masih menggunakan pakaian yang tidak berseragam. Lebih parahnya lagi masih banyak juga di daerah-daerah tertentu dalam proses pembelajarannya di luar gedung. Hal tersebut juga di singgung Pakar pendidikan Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto yang menyebutkan akses siswa miskin terhadap pendidikan berkualitas masih kurang.

Artinya mereka belum memiliki gedung sendiri untuk melakukan proses pembelajaran. Berbagai usaha telah pemerintah lakukan dalam pemerataan pendidikan, salah satunya desentralasasi yang mulanya adalah sentralisasi. Desentralisasi adalah kewenangan atau keputusan mulai diserahkan kepada daerah untuk mengelola lembaga pendidikan yang ada di daerahnya.

e. Rendahnya relevansinya pendidikan dengan kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Banyak sekali disimplin ilmu yang sebenarnya tidak lagi dibutuhkan dalam lembaga pendidikan, ini terkait dengan kurikulum yang diterapkan dalam lembaga pendidikan. Sebenarnya kurikulum yang ditetapkan seharusnya sesuai dengan kubutuhan kerja dilapangan.


f. Liberalisasi moral

Bentuk pelepasan tanggung jawab ini dapat dilihat dalam peraturan presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Dibidang Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan Hukum Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan non-formal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai komunitas dagang atas nama liberalisasi.



Liberalisasi pendidikan tanpa melihat kondisi objektif masyarakat Indonesia yang sebagaian besar masih miskin ini, justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan mempertahankan status quo bagi orang-orang yang kaya. 


Akibat liberalisasi pendidikan ini tentunya rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan, sehingga dapat dikatan liberalisasi dan sahamisasi.

Posting Komentar untuk "Analisis Kritis Problematika Pendidikan"