Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyelesaian Hukum Terjadinya Sengketa Perbankan Syariah, Proses, Prinsip dan Prosedur


Penyelesaian Hukum Terjadinya Sengketa Perbankan Syariah.


Penyelesaian sengketa atau yang dikenal dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus pertengkaran atau perselisihan atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa.

Baca juga : Lembaga-lembaga dalam Lingkup Ekonomi Islam Syariah, Pengertian dan Bentuk-bentuknya  

Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan dengan benar, diantaranya sebagai berikut:

a. Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.

b. Kekeluargaan

c. Menjamin kerahasian sengketa para pihak

d. Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan

Tujuan diadakannya penyelesaian sengketa ini agar setiap permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan dapat terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan persengketaan yang berujung pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak diperbolehkan berselisih yang berkepanjangan karena dapat menimbulkan persengketaan. Dasar hukum dari penyelesaian sengketa adalah sebgai berikut:

1. Al-Qur’an terdapat dalam surat Al Hujurat ayat 9

2. Hadits

3. Pasal 1338 KUHPerdata, Sistem Hukum Terbuka

Di Indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah Pengadilan Agama. Semenjak tahun 2006, dengan diamendemennya UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kewenangan Peradilan Agama diperluas. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Pengadilan Agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah (Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006). Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah ‘perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syari’ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat kembali dalam Pasal 55 (1) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun, Pasal 55 (2) UU ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati bersama dalam isi akad. Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah, mediasi, dan arbitrase syariah merupakan langkah yang tepat dan layak untuk diapresasi. Akan tetapi, masalah muncul ketika Pengadilan Negeri juga diberikan kewenangan yang sama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa dan ketidakpastian hukum serta tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan suatu perkara yang sama oleh dua lembaga peradilan yang berbeda. Padahal, kewenangan ini jelas merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka Majelis Mahkamah Konstitusi membuat putusan atas perkara Nomor 93/PUU-X/2012, mengabulkan sebagian permohonan, menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat [2] UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Baca juga : Definisi Ekonomi Islam, Ajaran Islam Tentang Ekonomi dan Contoh-contohnya  

Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak ada lagi dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa Perbankan syariah. Hal ini semakin mengokohkan eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia, akan tetapi di sisi lain menjadi tantangan tersendiri, karena bidang perbankan syariah secara khusus dan ekonomi secara umum merupakan bidang baru yang sangat kompleks permasalahannya.



1. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)

Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :

a. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase.

b. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antar para pihak

2. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah

Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada umumnya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena perbankan syariah seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.

Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.

Dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih kontroversial.

3. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah

a. Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata

Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.

Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.

Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menemukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.




b. Sumber-Sumber Hukum Materiil Dalam Mengadili Perkara Perbankan Syariah

Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :

1. Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.

2. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah.

a. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

b. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

c. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

d. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

e. PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah

f. PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah

g. SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito

h. SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro

i. Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.

3. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah

Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :
  • Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang lama
  • Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat
  • Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar

4. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah.

Fatwa-fatwa DSN yang dapat dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah.

5. Yurisprudensi

Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.

Baca juga : Perlakuan Khusus Perpajakan Koperasi dan Perbedaan dengan Pajak Badan Usaha Lain  

6. Doktrin

Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adalah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.

Posting Komentar untuk "Penyelesaian Hukum Terjadinya Sengketa Perbankan Syariah, Proses, Prinsip dan Prosedur"