Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Pailit menurut Black’s Law Dictionary dan Asas-asas Hukum Kepailitan


Pengertian pailit menurut Black’s Law Dictionary


“The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”. 

Pengertian tersebut dihubungkan dengan ketiadamampuan untuk membayar dari Debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketiadamampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan suatu permohonan ke Pengadilan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh Debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar Debitor). Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas”. Umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta Debitor agar dicapainya perdamaian antara Debitor dan para Kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para Kreditor.

Baca juga : Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Ditinjau dari Akad, Legalitas, Lembaga, Organisasi dan Biaya  

Menurut Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Pasal 1 angka 1). Nilai-nilai utama yang dapat menjadi titik awal pengaturan kepailitan pada dasarnya dapat ditemukan pada Buku I, II, III dan IV KUH Perdata dan pada Buku I KUH Dagang. Diawali dengan pertanyaan siapa yang dapat dinyatakan pailit. Apa sajakah yang dapat dijadikan jaminan dan transaksi yang bagaimana yang terjamin. Ketiga hal utama tersebut merupakan konsep dasar menuju pada proses pernyataan dan keputusan pailit.. Konsep dasar tersebut kemudian secara jelas diatur dengan lebih rinci pada ketentuan kepailitan.

Kepailitan semula diatur oleh Undang-Undang tentang Kepailitan yang dikenal dengan sebutan Failissement Verordening (FV) yaitu Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. FV tersebut kemudian diubah dalam arti disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 sehubungan dengan gejolak moneter yang menimpa Negara Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. PERPU Nomor 1 Tahun 1998 selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, namun karena perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengaturan suatu kepailitan selain khusus diatur dengan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, juga terdapat dalam beberapa undang undang yaitu sebagai berikut:
  • KUH Perdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan lain-lain;
  • KUH Pidana, misalnya Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520 dan lain-lain;
  • UUPT Nomor 1 Tahun 1995, misalnya Pasal 79 ayat (3), Pasal 96, Pasal 85 ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 90 ayat (2) dan (3), Pasal 98 ayat (1), dan lain-lain;
  • Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996;
  • Perundang-undangan di bidang Pasar Modal , Perbankan, BUMN, dan lain-lain.

Asas-asas Hukum Kepailitan


Hukum kepailitan didasarkan pada asas-asas dan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Asas kejujuran. Adalah asas yang mengandung pengaturan bahwa di satu pihak dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh para Debitor yang tidak jujur, dan di lain pihak dapat mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh para Kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas kesehatan usaha. Adalah asas yang mengandung pengaturan bahwa lembaga kepailitan harus diarahkan pada upaya ditumbuhkannya perusahaan-perusahaan yang secara ekonomis benar-benar sehat.

3. Asas keadilan. Mempunyai pengertian bahwa kepailitan harus diatur dengan sederhana dan memenuhi rasa keadilan, untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya masing-masing dari Debitor dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya.

4. Asas integrasi. Terdapat 2 pengertian integrasi, yaitu :

  • integrasi terhadap hukum lain: mengandung pengertian bahwa sebagai suatu sub - sistem dari hukum perdata nasional, maka hukum kepailitan dan bidang-bidang hukum lain dalam sub–sistem hukum perdata nasional harus merupakan suatu kebulatan yang utuh;
  • integrasi terhadap hukum acara perdata : mengandung maksud bahwa hukum kepailitan merupakan hukum di bidang sita dan eksekusi. Oleh karenanya ia harus merupakan suatu kebulatan yang utuh pula dengan peraturan tentang sita dan eksekusi dalam bidang hukum acara perdata.

5. Asas itikad baik. Asas yang mengandung pengertian bahwa pada dasarnya timbulnya kepailitan karena adanya perjanjian yang mengikat para pihak. Tetapi salah satu pihak berada dalam keadaan berhenti membayar utangutangnya, karena harta kekayaannya tidak mencukupi untuk membayar utang-utangnya. Keadaan demikian harus harus dinyatakan secara objektif oleh hakim, dan bukan oleh para pihak (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata).

6. Asas nasionalitas. Mengandung pengaturan bahwa setiap barang/harta kekayaan yang dimiliki oleh Debitor adalah menjadi tanggungan bagi utang-utangnya (Pasal 1131 KUH Perdata) dimanapun barang itu berada.

Posting Komentar untuk "Pengertian Pailit menurut Black’s Law Dictionary dan Asas-asas Hukum Kepailitan"