Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Imunologi, Pendapat, Ulasan, Penjelasan dan Pandangan Para Ahli


SEJARAH IMUNOLOGI


Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respon tubuh, terutama respon kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, girolamo fracastoro mengajukan teori kontagion bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat diidentifikasikan.

1. Edwar jenner

Pad tahun 1789, Edwar jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajar sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak itulah, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai dapat ditelusuripenyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai setelah louise Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan mordibitas penyakit infeksi pada anak.

Baca juga : Tablet Cetak dan Tablet Kempa, Pengertian dan Formulasi

2. Robert Koch

Pada tahun 1880, Robert menemukan kuman penyebab penyakit tuberkolosis. Dalam rangka mencari vaksin terhadap tuberkolosis ini,ia mengamati adanya reaksi tuberculin (1891) yang merup[pakn reaksi hipersensitifitas lambat pada kulit terhadap kuman tuberculosis. Reaksi tuberculin ini kemudian kemudian oleh mantoux (1908) dipakai untuk mendiagnosis penyakit tuberculosis pada anak. Vaksin terhadap tuberkolusis ditemukan pada tahun 1921 oleh calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG ( bacillua calmette Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan , bahanyang yidak hidup dapat menginduksi kekebalan.

3. Alexander yersin dan roux

Setelah roux menemukan toksin diferi pada tahun 1885, Von Behring dan Kitasato menemukan antitoksin diferi pada binatang(1890). Sejak itu dimulailah pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini dikemudian berkambang menjadi pengobatan dengan imunglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari manusia.

4. Clemens von pirquet

Dengan pemakaian serum kebal , muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum ini. Dua orang dokter anak,clements von pirquet dari austriadan bela shick diri hongaria melaporkan pada tahun1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan penyakit serum ( serum sicknes ). Perancis , Charles richet dan paul portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan tubuh yang diharapkan timbul dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi , bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknyayaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan ). Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian toksin atau antitoksin. clements von pirquet dari Austria (1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 charles blackley mempelajari penyakit hay fever yaitu penyakit dengan gejala klinis konjungtivitas dan rhinitis, serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh wolf Eisber (1906) dan meltezer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis).

Pada tahun 1911-1914 noon dan freeman mencoba mengobati penyakit hay fever terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit dami sedikit. Dasarnya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan terbentuk anti toksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati penyakit alergi tertentu yang dikenal dengan cara desensitasi. Akan tetapi mekanisme yang sekarang dianut berdasarkan pembentukan antibody penghambat (blocking antibody).

Baca juga : Denaturasi Protein, Struktur, Karakteristik dan Ciri-ciri  

Dengan penemuan reaksi tuberculin, scloss (1912) dan von pirquet (1915) melakukan uji gorest (scratch test ) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914), seorang dokter anak , dengan uji gores melihat dengan adanya hubungan antara asma dengan telur. Cooki (1915)memodifikasi uji gores dengan uji infrakutan, dan melaporkan juga bahwa factor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, schik juga memperkenalkan uji kulit

untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman diferi, sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostic penyakit anak.


Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever, asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe ekstrinsik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum penderita. Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang tepat belum diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam bentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutama dengan bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis penyakit.

Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai fenomena imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.

Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat dijabarkan dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939, 141 tahun setelah penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.

Baca juga : Ikan Layur, Hubungan Kekerabatan, Frekuensi Panjang dan Berat  

5. Metchnikoff

Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas 2 populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.

Posting Komentar untuk "Sejarah Imunologi, Pendapat, Ulasan, Penjelasan dan Pandangan Para Ahli"