Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyakit Hepatik Ensefalopati (HE), Penyebab, Faktor Resiko dan Cara Terapi


Hepatik Ensefalopati (HE)


HE terdiri dari beberapa tipe antara lain tipe A yang diinduksi oleh kegagalan akut liver, tipe B berkaitan dengan jalur portal sistemik tanpa berhubungan dengan kegagalan akut liver, dan tipe C adalah HE terjadi pada pasien dengan sirosis. HE tipe A gejalanya seperti terjadinya agitasi, kebingungan, seizure, dan koma.

a. Penyebab HE

1) Peningkatan jumlah amonia

Protein didalam usus akan dirombak oleh bakteri di usus dan menghasilkan amonia. Amonia akan ikut diabsorbsi dan mengalami metabolisme di hepar. Hepar mengalami kerusakan sehingga hepar kehilangan fungsinya sebagai detoksifikan. Akibatnya amonia akan ikut dalam aliran darah sistemik dan mencapai otak. Di otak, amonia merupakan toksikan, memprekursori pembentukan energi dan menyebabkan ensefalopati.

Baca juga : Penyakit Ikterus (Jaundice) Adalah : Definisi, Epidemiologi, Etiologi dan Patofisiologi   

2) Perubahan keseimbangan kadar AAA : BCAA

Kadar normal AAA (Aromatic Amino Acid) : BCAA (Branched Chain Amino Acid) adalah 4:2 atau 6:1. Dengan adanya Amonia diotak, maka akan terjadi stimulasi pembentukan energi di otak melalui glukoneogenesis dari asam amino BCAA. Kadar BCAA menurun sedangkan kadar AAA tetap atau meningkat karena clearance AAA di hepar menurun. AAA merupakan prekursor dari false NT (Neurotransmitter) seperti GABA, Benzodiazepin dan trasmitter depresan. Perubahan kadar ke 2 asam amino ini menyebabkan perubahan perilaku dan berpeluang menyebabkan HE.

3) Inflamasi

Dimetabolime protein bukan satu-satunya mekanisme yang dapat menjelaskan perubahan neurologi pada pasien HE. Sepsis diketahui sebagai faktor yang mempercepat dekompensasi gangguan liver pada pasien sirosis. Telah dilakukan studi mengenai efek induksi hiperamonemia pada pasien dengan sirosis yang mengalami systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Pasien SIRS yang diberi larutan asam amino oral yang menginduksi hiperamonemia memberikan hasil tes psikometri yang buruk. Saat SIRS berhasil diterapi, jumlah marker inflamasi tumor necrosis factor (tnF), interleukin (il) 1 dan il6 kembali normal. Sistem imun periferal bekerja sama dengan otak dalam merespon infeksi dan inflamasi. Astrosit dan sel-sel mikroglia melepaskan sitokin dalam merespon perlukaan atau inflamasi. Jumlah tnF dalam darah akan meningkat selama inflamasi yang menstimulasi sel-sel mikroglia untuk melepaskan sitokin, il1, dan il6. tnF juga membahayakan endotel BBB dan il1β berefek pada integritas bagain glial dari BBB. Baik tnF dan il6 meningkatkan permeabilitas fase cair yang berada dalam sel endotel otak, dan tnF juga meningkatkan difusi amonia ke dalam astrosit.

b. Faktor resiko dari HE

Gangguan liver ringan, akut, hingga kronis serta portosystemic venous shunting merupakan faktor yang menyebabkan berkembangnya HE. Semakin tinggi level gangguan liver, semakin besar peluang berkembangnya HE. Pasien dengan sirosis yang memiliki minimal HE (yang disebut HE subklinik) memiliki resiko berkembangnya HE yang jelas. Perpindahan dari transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) juga merupakan faktor resiko. 


Pasien yang memiliki diabetes melitus atau malnutrisi sepertinya berkembang ke arah HE lebih sering dengan sirosis. HE merupakan faktor penting dari kegagalan liver akut. Hiperamonemia ringan (150-200 mmol/L) dengan kegagalan liver akut dapat menyebabkan edema serebral yang berkontribusi menjadi HE. Pasien dengan trombosis vena portal dan portosystemic shunting yang luas tanpa gangguan parenkim liver yang signifikan memiliki kesempatan berkembangnya HE. Faktor resiko lainnya yang dapat mempercepat terjadinya HE antara lain:

  • Dehidrasi
  • Pendarahan gastrointestinal
  • Infeksi (terutama spontaneous bacterial peritonitis, saluran urin, kulit, dan pulmoner)
  • Konstipasi
  • Diet protein berlebihan
  • Obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
  • Hipokalemia
  • Kegagalan ginjal
  • Hiponatremia (serum natrium kurang dari 125 mEq/L)
  • Operasi
  • Transjugular intrahepatic portosystemic shunt
  • Perlukaan berat pada liver (hepatitis akut, obat yang menginduksi perlukaan pada liver)
  • Hepatoseluler karsinoma
  • Gangguan sambungan liver



c. Terapi HE

1) Laktulosa

Laktulosa merupakan disakarida laksatif yang terhidrolisis menjadi senyawa yg dapat menarik air kedalam colon antara lain asam asetat, asam formiat yangmenstimulasi defekasi. Selain itu hasil hidrolisis laktulosa dapat menurunkan pH kolon sehingga terjadi konversi NH3 jadi ion ammonium (NH4+) yang diekskresi melalui feces. Dosis 2-3 x 15-30 mL/hari atau dapat ditingkatkan.

2) Antibiotik

Katabolisme protein menjadi amonia dilakukan oleh bakteri di usus. Dengan pemberian antibiotik maka dapat menghambat katabolisme protein menjadi amonia. Antibiotik yang biasa digunakan antara lain kanamisin, neomisin, metronidazol, vancomisin, dan rifaximin. Kanamisin memiliki bioavailabilitas yang buruk sehingga kanamisin tidak/sedikit diabsorbsi dan bekerja secara lokal di usus. Neomisin menghambat bakteri amoniagenik koliform yang menghasilkan urease (enzim pengubah urea menjadi amonia). Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan neomisin adalah adanya komponen sulfat yang menyebabkan efek ototoksik dan nefrotoksik serta malabsobsi intestinal. 


Metronidazol dan oral vancomisin digunakan secara terbatas. Rifaximin, turunan antibiotik rifamisin nonabsorbable paling banyak digunakan untuk terapi secara luas. Obat ini memiliki toksisitas dan efek samping rendah karena absorbsi gastrointestinalnya minimal. Rifaximin meningkatkan kecepatan penerimaan sebagai terapi utama atau dengan penambahan laktulosa. Dosis yang dianjurkan adalah 1200 mg/hari. Selain terapi farmakologi, terapi non-farmakologi juga dilakukan yakni dengan pembatasan konsumsi protein 10-20 g/hari.

Posting Komentar untuk "Penyakit Hepatik Ensefalopati (HE), Penyebab, Faktor Resiko dan Cara Terapi"