Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Efek Sistemik Jalur Pemberian Obat untuk Pasien


Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat.

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

Baca juga : Marasmus dan Kwashiorkor, Jenis Penyakit Akibat Defisiensi Lemak  

a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik

b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama

c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus

d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute

g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep.


Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:

a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal

b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan

c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.


Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:

a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga

b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru

c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan



Jalur Pemberian Obat


Jalur pemberian obat turut menetukan kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek local (setempat) keadaan pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk memberikan obat.

1. Efek Sistemik

a. Oral

Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim, karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun tidak semua obat dapat diberikan peroral, misalnya obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung, seperti benzilpenisilin, insulin, oksitosin dan hormone steroida.

Sering kali, resorpsi obat setelah pemberian oral tidak teratur dan tidak lengkap meskipun formulasinya optimal, misalnya senyawa ammonium kwartener (thiazianium, tetrasiklin, kloksasilin dan digoksin) (maksimal 80%). Keberatan lain adalah obat segtelah direpsorbsi harus melalui hati, dimana dapat terjadi inaktivasi sebelum diedarkan ke lokasi kerjanya.

Untuk mencapai efek local di usus dilakukan pemberian oral, misalnya obat cacing atau antibiotika untuk mensterilkan lambung-usus pada infeksi atau sebelum pembedahan (streptomisin, kanamisin, neomisin, beberapa sulfonamida). Obat-obat ini justru tidak boleh diserap.

Baca juga : Hiperlipidemia Kelainan Lipid, Sebab, Gejala, Pencegahan dan Pengobatan

b. Sublingual

Obat setelah dikunyah halus (bila perlu) diletakkan di bawah lidah (sublingual), tempat berlangsungnya rebsorpsi oleh selaput lender setmpat ke dalam vena lidah yang banyak di lokasi ini. Keuntungan cara ini ialah obat langsung masuk ke peredaran darah besar tanpa melalui hati. Oleh karena itu, cara ini digunakan bila efek yang pesat dan lengkap diinginkan, misalnya pada serangan angina (suatu penyakit jantung), asma atau migrain (nitrogliserin, isoprenalin, ergotamin juga metiltesteron). Kebertannya adalah kurang praktis untuk digunakan terus-menerus dan dapat merangsang mukosa mulut. Hanya obat yang bersifat lipofil saja yang dapat diberikan dengan cara ini.

c. Injeksi

Pemberian obat secara parenteral (berarti “di luar usus”) biasanya dipilih bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung (hormon), atau tidak diresorpsi usus (streptomisin). Begitu pula pasien yang tidak sadar atau tidak mau kerja sama. Keberatannya adalah cara ini lebih mahal dan nyeri serta sukar digunakan oleh pasien sendiri. selain itu ada pula bahaya terkena infeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat.

- Subkutan (hipodermal)

Injeksi dibawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuscular atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya insulin pada pasien penyakit gula.

- Intrakutan

Absorpsi sangat lambat, mislanya injeksi tuberculin dari Mantoux.

- Intramuscular

Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut bekerja dalam waktu 10-30 menit. Guna memperlambat resorpsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan atau suspensi dalam minyak, misalnya suspensi penisilin dan hormone kelamin. Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot bokong yang tidak memiliki banyak pembuluh dan saraf.

- Intravena

Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilkan menghasilkan efek tercepat: dalam waktu 18 detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini digunkan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut air atau menimbulkan endapan dengan protein atau butir darah.


Bahaya injeksi i.v. adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat kolida darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini ‘benda asing’ langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi , misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbul shock. Bahaya ini lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu setiap injeksi i.v. sebaiknya dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya.

Baca juga : Obesitas, Penimbunan Lemak dalam Tubuh, Sebab dan Cara Mengobati  

Infus tetes intravena dengan obat sering kali dilakukan di rumah sakit pada keadaan darurat atau dengan obat yang cepat metabolisme dan ekskresinya guna mencapai kadar plasma yang tetap tinggi.

- Intra-arteri

Injeksi ke pembuluh nadi adakalanya dilakukan untuk “membanjiri” suatu organ, misalnya hati, dengan obat yang sangat cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan, misalnya obat kanker nitrogenmustard.

- Intralumbal

Intralumbal (antara ruas tulang belakang), intraperitoneal (ke dalam ruang selaput perut), intrapleural (selaput paru-paru), intracardial (jantung) ddan anti-artikuler (ke celah-celah sendi) adalah beberapa cara injeksi lainnya untuk memasukkan obat langsung ke tempat yang diinginkan.

- Implantasi subkutan

Implantasi subkutan adalah memasukkan obat yang berbentuk pellet steril (tablet silindris kecil) ke bawah kulit dengan menggunkan suatu alat khusus (trocar). Obat ini terutama digunakan untuk efek sistemis lama, misalnya hormon kelamin (estradiol dan testosteran. Akibat resorpsi yangh lambat, satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya secara teratur selama 3-5 bulan lamanya. Bahkan dewasa ini tersedia implantasi obat antihamil dengan lama kerja 3 tahun (Implanon, Norplant).

- Rektal

Rektal adalah pemberian obat melalui rectum (dubur) yang layak untuk obat yang merangsang atau yang diuraikan oleh asam lambung, biasanya dalam bentuk suppositoria, kadang-kadang sebagai cairan (klisma: 2-10 mL, lavemen: 10-500 mL). Obat ini terutama digunakan pada pasien yang mual atau muntah-muntah (mabuk jalan atau migrain) atau yang terlampau sakit untuk menelan tablet. Adakalanya juga untuk efek lokal yang cepat, misalnya laksans (suppose, bisakodil/gliserin) dan klisma (prednisone atau neomisin).

Sebagai bahan dasar (basis) suppositoria digunakan lemak yang meleleh pada suhu tubuh (k.l. 36,80C), yakni oleum cacao dan gliserida sintetis (Estarin, Wittepsol). Demikian pula zat-zat hidrofil yang melarut dalam getah rectum, misalnya tetrasiklin, kloramfenikol dan sulfonamida (hanya 20%). Karena ini sebaiknya diberikan dosis oral dan digunakan pada rectum kosong (tanpa tinja). Akan tetapi, setelah obat diresopsi, efek sistemiknya lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan pemberian per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah dari rectum tidak tersambung pada system porta dan obat tidak melalui hati pada peredaran darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan First Pass Effect. Pengecualian adalah bila obat diserap di bagian atas rectum dan oleh vena porta dan kemudian ke hati. Misalnya thiazianium.


Baca juga : Jenis Penyakit karena Kelainan Metabolisme Protein, Hipoproteinemia  

Dengan demikian, penyebaran obat di dalam rectum yang tergantung dari basis suppositoria yang digunakan, dapat menentukan rutenya ke sirkulasi darah besar. Suppositoria dan salep juga sering digunakan untuk efek local pada gangguan poros usus misalnya wasir. Keberatannya ialah dapat menimbulkan peradangan bila digunakan terus-menerus.

Posting Komentar untuk "Efek Sistemik Jalur Pemberian Obat untuk Pasien "