Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dimensi Sosial Dalam Fiqih Shalat


Di antara contoh dimensi sosial dalam fiqih shalat adalah terkait dengan pendidikan anak untuk ibadah shalat dan ke masjid.

a. Perintah Shalat Sejak Tujuh Tahun

Perlu disadari bahwa memberi motivasi dan contoh kepada anak-anak dalam masalah shalat memang harus sejak dini. Namun perlu disadari bahwa ada waktu dan usia tertentu berdasarkan nash-nash syariah, kapan hal itu mulai dilakukan Salah satu hadits yang sudah masyhur di kalangan umat Islam adalah hadits berikut ini :

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Perintahkan kepada anak-anakmu untuk shalat ketika mereka menginjak usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka ketika menginjak sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)

Ada satu isyarat penting di dalam hadits ini, yaitu Rasululah SAW menyebut usia anak, antara tujuh tahun dan sepuluh tahun. Kenapa beliau tidak menyebut usia lima tahun, empat tahun atau tiga tahun?

Baca juga : Dimensi Sosial Dalam Fiqih Thaharah (Bersuci)

Penting untuk dimengerti bahwa tingkat kematangan berpikir anak itu mengalami proses panjang. Anak usia tiga tahun, belum mampu menyerap aturan baik berupa perintah atau larangan. Sehingga kadang-kadang mereka menurut tapi seringkali pula mereka tidak menurut.

Semakin tinggi usia anak, maka tingkat kematangan berpikirnya semakin baik. Anak usia lima tahun tentu sedikit lebih matang dari yang berusia tiga tahun. Tetapi keduanya sama-sama masih jauh dari sikap mengerti dan paham dengan aturan-aturan.

Akan jauh berbeda dengan anak yang mulai menginjak usia tujuh tahun. Meski bukan suatu yang pasti, namun umumnya anak yang sudah melewati usia tujuh tahun, mereka lebih matang dan bisa memahami serta mengerti aturan-aturan.


Maka tidak bijaksana mulai mengajak anak-anak yang belum masuk usia tujuh tahun untuk shalat berjamaah di masjid. Selain belum ada perintahnya, juga ada banyak resiko yang akan akan terjadi, seperti mereka akan melakukan banyak keributan, serta tentu nya akan mengganggu ketentangan jamaah shalat dan suasana khusyu’ di dalam masjid.

b. Barisan Anak di Masjid

Alasan lain untuk belum perlu mengajak anak-anak di bawah usia tujuh ke masjid adalah karena ada aturan di masjid yang mengharuskan anak-anak punya barisan tersendiri, yaitu di bagian belakang barisan jamaah laki-laki.

Para ulama menetapkan bahwa anak-anak, baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok, tidak boleh berada di sela-sela jamaah laki-laki dalam shalat berjamaah. Karena Allah SWT telah menetapkan posisi mereka di dalam satu barisan tersendiri.


Tidak bisa kita bayangan kalau yang berada pada barisan belakang itu adalah anak-anak balita usia tiga sampai empat tahun. Mereka pasti akan kocar-kacir dan ribut sendiri serta mengganggu ketenangan ibadah.

c. Haram Ganggu Ketenangan Masjid

Ketenangan suasana di dalam masjid adalah hal yang perlu diperhatikan, mengingat ibadah itu harus dikerjakan dengan cara yang khusyu’, tenang dan tertib.

Suatu hari ada dua orang dari luar kota Madinah, tepatnya dari Thaif yang masuk ke dalam masjid nabawi membikin kegaduhan dengan meninggikan suara mereka. Melihat hal itu, Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu lantas sigap bertindak.

Di dekati kedua orang yang tidak dikenalnya sebagai penduduk Madinah, dan ditanyakan identitas mereka. “Kalian berasal dari mana?”, tanya Umar. “Kami dari Thaif”, jawab keduanya.”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian ini asli orang Madinah, pastilah telah kupukul kalian berdua ini”, ancam Umar.

Peristiwa ini memberi banyak pelajaran kepada kita, salah satunya yang paling utama adalah dilarang hukumnya membuat kegaduhan di dalam masjid. Untung saja kedua orang itu bukan penduduk Madinah, sehingga Umar bisa memaklumi keawaman kualitas agama dan pemahaman mereka dalam hukum-hukum masjid.


Maka resiko mengajak anak kecil yang belum matang pikirannya, akan mengakibatkan ketenangan jamaah dalam terganggu dalam beribadah. Bagaimana mau shalat khusyu’, kalau puluhan anak-anak kecil berlari-larian kesana kemari sepanjang shalat, diiringi dengan teriakan dan jeritan mereka tentunya. Maka masjid akan berubah menjadi arena yang penuh dengan kegaduhan.

Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Fatwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi

Kalau sudah begini, pengurus masjid hanya bisa memarahi sambil membentak-bentak saja, memang sekilas suara ribut berhenti, hening sesaat, tetapi setelah itu anak-anak akan kembali membuat ulah.

Mengajari mereka tertib masuk masjid hanya akan efektif kalau mereka sudah cukup umur, yaitu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, ketika mereka berusia tujuh tahun.

Dan akan lebih matang lagi ketika sudah mencapai usia sepuluh tahun, karena mereka sudah bisa berpikir panjang, dan tahu kalau mereka melanggar ketertiban, akan ada hukuman yang mereka tanggung sendiri akibatnya.

d. Haramnya Mengotori Masjid

Mazhab Asy-Syafi’iyah termasuk salah satu mazhab yang sangat konsern terhadap urusan najis yang sedikit dan kecil. Sebagian dari ulama dari mazhab ini memakruhkan membawa anak kecil ke dalam masjid dengan alasan bahwa anak-anak seusia itu masih belum mampu menjaga diri dari najis.

Hal yang tidak bisa dihindari bagi anak-anak yang masih di bawah umur adalah resiko mengompol di celana. Maka kalau sampai anak-anak itu mengompol di dalam masjid, tentu masjid akan terkotori dan tercemar dengan najis.


Untuk itu para orang tua tidak dianjurkan untuk mengajak bayi-bayi mereka masuk ke dalam masjid, apabila mereka tidak bisa menjaga kesucian dan kebersihan ruangan shalat di dalam masjid.

e. Rasulullah SAW dan Anak Kecil di Masjid

Mungkin kalangan yang ngotot ingin mengajak balita ke masjid punya dalil yang menguatkan pandangan mereka, bahwa Rasulullah SAW juga pernah membawa anak kecil ke masjid.

Malah menggendong anak kecil itu sambil mengimami shalat. Bukankah hal itu menjadi dasar syariat dan juga teladan bahwa kita pun seharusnya mengajak anak-anak kecil ke masjid?

Jawabnya begini, benar sekali bahwa Rasulullah SAW pernah mengimami shalat sambil menggendong bayi, yaitu cucu beli sendiri yang bernama Umamah puteri dari puteri Rasulullah SAW, Zainab radhiyallahuanha. Bahkan pernah pula beliau mengajak cucu yang lain, yaitu Hasan atau Husain, yang merupakan putera dari puteri beliau, Fatimah radhiyallahuanha.

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِى الْعَاصِ وَهْىَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِىِّ عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا

Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata, Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang shalat, sedangkan Umamah binti Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab berada pada gendongannya. Bila beliau SAW ruku' anak itu diletakkannya dan bila beliau bangun dari sujud digendongnya kembali (HR. Muslim)

عَنْ شَدَّادِ اللَّيْثِي قَالَ : خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ فِي إِحْدَى صَلاتَيْ العَشِيِّ الظُّهرِ أَوِ العَصْرِ وَهُوَ حَامِلُ حَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ فَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ فَوَضَعَهُ ثُمَّ كَبَّرَ لِلصَّلاَةِ فَصَلىَّ فَسَجَدَ بَيْنَ ظَهْرَي صَلاَتِهِ سَجْدَةً أَطَالَهَا. قَالَ: إِنِّي رَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا الصَّبِيُّ عَلىَ ظَهْرِ رَسُولِ اللهِ وَهُوَ سَاجِد. فَرَجَعْتُ فيِ سُجُوْدِي. فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ الصَّلاَةَ قَالَ النَّاسُ: ياَ رَسُولَ اللهِ إِنَّكَ سَجَدْتَ بَيْنَ ظَهْرَي الصَّلاَةَ سَجْدَةً أَطَلْتَهَا حَتىَّ ظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ. قَالَ: كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتىَّ يَقْضِيَ حاَجَتَهُ

Dari Syaddad Al-Laitsi radhiyallahuanhu berkata,"Rasulullah SAW keluar untuk shalat di siang hari entah dzhuhur atau ashar, sambil menggendong salah satu cucu beliau, entah Hasan atau Husain. Ketika sujud, beliau melakukannya panjang sekali. Lalu aku mengangkat kepalaku, ternyata ada anak kecil berada di atas punggung beliau SAW. Maka Aku kembali sujud. Ketika Rasulullah SAW telah selesai shalat, orang-orang bertanya,"Ya Rasulullah, Anda sujud lama sekali hingga kami mengira sesuatu telah terjadi atau turun wahyu". Beliau SAW menjawab,"Semua itu tidak terjadi, tetapi anakku (cucuku) ini menunggangi aku, dan aku tidak ingin terburu-buru agar dia puas bermain. (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Hakim)

Namun kalau hal itu pernah terjadi bukan berarti menjadi sunnah atau anjuran, melainkan menjadi kebolehan yang sifatnya darurat. Sebab apa yang beliau SAW lakukan itu tidak terjadi setiap hari. Kejadiannya hanya sekali itu saja. Tidak pernah diriwayatkan bahwa besok-besoknya atau kapan misalnya, Rasulullah SAW datang lagi ke masjid mengajak anak-anak kecil cucunya.


Makanya tidak ada satu pun ulama yang memandang bahwa perbuatan itu menjadi dasar anjuran untuk membawa anak-anak kecil umur dua tiga tahunan untuk ke masjid. Tetapi sekedar menjadi dasar kebolehan yang bersifat darurat.

Baca juga : Hukum Ucapan Selamat Natal Menurut Fatwa Dr. Mustafa Ahmad Zarqa

Misalnya di rumah anak itu tidak ada yang menjaga, ibunya sedang keluar, dari pada anak usia tiga tahun ditinggal sendirian di rumah, boleh saja sekali waktu ayahnya dengan 'terpaksa' membawanya ke masjid.

Sebenarnya kalau yang bawa anak balita ke masjid itu hanya satu orang, insyaallah tidak akan berisik dan tidak akan berlarian kesana-kesini. Sebab biasanya anak-anak seusia itu baru bikin onar kalau ada temannya. Tetapi kalau sendirian, sementara semua jamaah adalah orang dewasa, maka pada umumnya mereka tidak punya 'nyali' untuk berisik dan bikin onar.

f. Jamaah Wanita Membawa Bayi ke Masjid

Para pendukung gerakan bawa balita ke masjid mungkin masih punya satu peluru penghabisan, yaitu hadits tentang Rasulullah SAW mempercepat shalatnya ketika mendengar anak kecil menangis di bagian shaf wanita. Hal ini menunjukkan bahwa jamaah wanita ternyata pada bawa anak ke masjid di masa itu.

Jawabannya begini, apa yang Rasululah SAW lakukan ketika mendengar tangis bayi? Ternyata beliau mempercepat shalatnya. Istilah mempercepat ini kalau kita pahami, salah satunya bisa berarti beliau tidak menyelesaikan bacaan Qurannya, atau beliau membaca dengan lebih cepat dari biasanya.


Tetapi intinya, konfigurasi shalat yang biasanya dilakukan menjadi rusak dan tidak normal seperti biasanya. Artinya, justru keberadaan anak balita di masjid itu bukan kondisi ideal tetapi kondisi di luar kenormalan.

Baca juga : Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Dr. Said Ramadhan Al-Buthi

Posting Komentar untuk "Dimensi Sosial Dalam Fiqih Shalat"