Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Pendekatan Kognitif pada Proses Belajar Menurut Para Ahli


Pembiasan Perilaku Respon


Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning) merupakan teori berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli Psikologi belajar masa kini, teori ini adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat. Respon dalam Operant Conditioing terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya (reinforcer).

Dalam pandangan Psikologi perilaku yang dimotori teoriwan Paplov, Thorndike, dan Skinner, stimulus merupakan penyebab pokok terbentuknyarespons-respons dalam belajar. Stimulus yang dimaksud yaitu pembiasan perilaku respon yang dibentuk melalui pengubahan materi bahasan sedemikian rupa sehingga dapat merangsang pembelajar mengembangkan perilaku seperti yang dikehendaki dalam tujuan belajar. Sebagai pengembangan dan konsepsi pembiasan klasik (classical conditioning) yang mengabaikan jarak antara stimulus (S) dengan respons (R), pembiasan perilaku respons sesungguhnya merupakan sinyal-sinyal penggerak pikiran dan dipandang sebagai mediator dari apa yang diingikan pemberi stimulus dengan harapan penerima mengembangkan reaksi pikiran dan tindaka tertentu (Travers, 1982:18)

Baca juga : Bagaimana Upaya untuk Mengatasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia  

Dari sejumlah teori belajar perilaku yang menonjol tampak adanya kesamaan pandangan bahwa stimulus, baik yang terkondisi maupun yang terbuka, dipandang sebagai penggerak awal tindakan belajar yang mendekati salah satu di antara titik-ti belajartik dalam garis kontinum antara kesukarelaan menuju ke arah pemaksaan dalam belajar. Itulah sebabnya, maka sejalan dengan perkembangan teori-teori motivasi dan evaluasi yang kemudian dimanfaatkan para ahli dan praktisi pendidikanuntuk menjalankan profesinya.

Pemberian stimulus-respons-penguatan sebagai satuan-satuan bahasan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain dengan menggunakan pola jenjang bersyarat Biehler dan Snowan (1982). Sebagai bentuk pengajaran yang sengaja dirancang untuk memberikan kemudahan belajar menurut percepatan lama kerja individu, Skinner mempreskripsikan agar bahan-bahan belajar hendaknya berisikan seperangkat langkah-langkh pendek yang setiap langkahnya memerlukan aktifitas respons dari pembelajar dan setiap respons harus disiapkan balikan segerannya untuk mengetahui keakuratan respons yang ada.

Untuk mengefektifkan aktivitas pembelajar, Skinner selanjutnya mempreskripsikan empat teorema pembelajar sebagai berikut.

  • Pertama, peran pendidikan hakikatnya adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku yang diinginkan sajayang diberi penguatan.
  • Kedua, stimulus yang bersifat deskriptif hendaknya diberikan sebagai penunjang aktifitas belajar, erat kaitannya dengan kedua hal tersebut adalah teorema.
  • Ketiga, yang mempreskripsikan agar para pembelajar membuat catatan kemajuan anak didiknya sehingga dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian program yang mereka perlukan dikemudian hari.
  • Keempat, memperskripsikan agar pembelajar membuat rekomendasi tentang tugas-tugas belajar mana yang seharusnya dicoba dahulu, sebagaimana cara belajarnya, serta hasil-hasil apa saja yang diharapkan dengan keseluruhan aktivitas yang diprogramkan itu.

Teori Pendekatan Kognitif


a. Aliran Kognitif

Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses beljar daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.

Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus, dan bagaimana siswa tersebut dapat sampai ke respons tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini). Namun, lambat laun perhatian ini mulai bergeser. Saat ini perhatiaan mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.

Baca juga : Contoh Kalimat Pemberitahuan  

Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh Jean Piaget, “belajar bermakna” nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” oleh Jerome Bruner.  

1. Piaget

Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni (1) asimilasi, (2) akomodasi, dan (3) equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuaan (pengintegrasiaan) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkeseinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru), inilah yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang berarti dalam pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi proses penyeimbangan antara “dunia luar” dan “dunia dalam”. Tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur (disorganized).

Dalam hal ini, dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu “ menata” berbagai informasi ini dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi sebaik itu akan cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang cenderung mempunyai alur berpikir ruwet, tidak logis, dan berbelit-belit.

Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa, yang dalam hal ini Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu tahap sensori motor (2/3 sampai 7/8 tahun), tahap operasional konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan tahap operasional (14 tahun atau lebih).

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (praoperasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional konkret dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangananak didiknya ini, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

Guru yang mengajar, tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan cenderung menyulitkan para siswanya. Misalnya saja, mengajarkan konsep abstraktentang matematika kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk “mengkonkretkan” konsep tersebut. Tidak hanya akan percuma, tetapi justru akan lebih membingungkan para siswa itu.

2. Ausubel

Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan (belajar)” (Advance organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi/mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Baca juga : Bujur Sangkar Adalah  

Ausubel percaya bahwa “advance organizers) dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni

1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.

2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa

3. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

3. Bruner

Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru member kesempatan kepaada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran, misalnya, siswa pertama-tama tidak menghafal definisi kata kejujuran, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”.

Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh umum dan konkret. Dalam contoh diatas, maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran, dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut.

Brunner juga mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif dikelas. Menurut pandangan Brunner bahwa teori belajar itu bersifat deskriftif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriftif. Misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak untuk belajar penjumlahan, sedngakan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.



b. Pendekatan Kognitif (Kognitif Approach)

Menurut aliran kognitif, belajar merupakan proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan perilaku seseorang yang tampak sesengguhnya hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi persepsi dirinya terhadap sesuatu yang sedang diamati dan dipikirannya. Sedangkan fungsi stimulus yang datang dari luar direspons sebagai aktivator kerja memori otak untuk membentuk dan mengembangkan struktur kognitif.

Brunner (1975) mendeskripsikan pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Sedangkan Ausubel (1978) mempreskripsikan agar pembelajar dapat mengembangkan situasi belajar, memilih dan menstrukturkan isi, serta menginformasikannya dalam bentuk sajian pembelajar yang terorganisasi dari umum menuju ke rinci dalam satu satuan bahasan yang bermakna.

Dalam pandangan psikologi kognitif, peran guru atau dosen menjadi semakin menentukan apabila perbedaan variabel karakter individu dihargai dalam bentuk penyajian pola struktur kegiatan belajar mengajar. Penyajian pola struktur kegiatan yang bervariasi pada saat yang bersamaan juga pernah dicobakan di lapangan dengan berpijak pada teorema Bruner tentang pembelajaran yang berorientasi pada kerja kognitif tingkat tinggi. Hasil uji model pembelajaran pemecahan masalah yang dikembangkan berdasarkan teorema Brunner (Suharsono, 1991) menunjukkan adanya kesetaraan tingkat keefektifan berbagai macam variasi pola pembelajaran, sepanjang kapasitas dan tingkat kemampuan awal siswa atau mahasiswa tidak berbeda secara signifikan.

Masalah yang sering muncul pada tahapan aplikasi teori-teori kognitif dibidang pembelajaran adalah dalam kaitannya dengan pengorganisasian isi pesan atau bahan belajar dan penstrukkturan kegiatan belajar mengajar. Hali ini bisa dimengerti mengingat bahwa penelitian dan pengembangan paket-paket program pembelajaran pada berbagai jenis cabang ilmu disiplin keilmuan dan keahlian ternyata tidak menunjukkan hasil yang konsisten. Salah satu faktor yang dominan pengaruhnya terhadap variasi keefektifan pembelajaran adalah struktur bangunan disiplin ilmu yang dipelajari (Scandura, 1984).

Baca juga : Prakarya dari Bahan Bekas  

Sehubungan dengan adanya kenyataan empiris tersebut, maka teori dan teorema kognitif yang ada bisa saja digunakan sebagai acuan umum bagi setiap jenis cabang disiplin keilmuan. Namun, kemungkinan dapat terjadi bahwa keefektifan penerapannya pada level kesulitan dan jenis kemampuan pada suatu bidang studi berbeda dengan bidang studi lainnya. Oleh karena itu, cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan dari sudut pandang psikologi kognitif adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merrril (1983: 286), jenjang tersebut bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru dibidang disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.

Posting Komentar untuk "Teori Pendekatan Kognitif pada Proses Belajar Menurut Para Ahli"