Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bolehkah Menikah dengan Niat Cerai (Nikah Mut'ah)?


Pertanyaan 1: Ada seseorang yang ingin pergi ke luar negeri, karena ia mendapat tugas belajar. Ia ingin menjaga kemaluannya dengan menikah di sana untuk masa waktu tertentu. Kemudian setelah itu ia menceraikan istri ini tanpa mengabarkannya bahwa ia akan menceraikannya. Apakah hukumnya perbuatan ini?

Jawaban 1: Nikah dengan niat talak ini tidak terlepas dari dua perkara: Bisa jadi ia mensyaratkan di dalam akad nikah bahwa ia akan menikahinya selama satu bulan, atau setahun, atau hingga selesai belajarnya. Maka ini adalah nikah mut'ah dan hukumnya haram.

Baca juga : Belajar Sabar dan Syukur dari Abu Qilabah  

Dan bisa jadi ia berniat melakukan hal itu tanpa mensyaratkannya. Maka pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali bahwa hukumnya adalah haram dan akad nikahnya rusak (tidak sah), karena mereka berkata: sesungguhnya yang diniatkan sama seperti yang disyaratkan, berdasarkan hadits:

قال رسول الله 
(إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya semua amal itu disertai niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang dia niatkan."[1]

Dan karena jika seseorang menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya agar mantan suaminya bisa menikahinya lagi, maka sesungguhnya nikah itu rusak (tidak sah), sekalipun hal itu tidak disyaratkan, karena yang diniatkan sama seperti yang disyaratkan. Apabila niat tahlil (untuk menghalalkan mantan suaminya) merusak akad nikah, maka demikian pula niat mut'ah merusak akad. Ini adalah pendapat para ulama Hanabilah.

Dan pendapat kedua bagi para ulama dalam masalah ini: sesungguhnya ia sah menikahi dan dalam niatnya ingin menceraikannya, apabila ia akan meninggalkan negeri –seperti para perantau yang pergi untuk belajar dan semisalnya- mereka berkata: karena hal ini tidak disyaratkan, dan perbedaan di antaranya dengan nikah mut'ah adalah sesungguhnya dalam nikah mut'ah, apabila telah sampai batas waktunya, berpisahlah keduanya, apakah suami menghendaki atau tidak. Berbeda dengan pernikahan ini, maka ia bisa menyukai istri dan tetap bersamanya. Dan ini adalah salah satu pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut pendapat saya sesungguhnya ini tidak seperti nikah mut'ah, karena definisi nikah mut'ah tidak cocok terhadap pernikahan ini, akan tetapi hukumnya adalah haram dari sisi menipu istri dan keluarganya. Dan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan penipuan. Sesungguhnya jika istri mengetahui bahwa laki-laki ini tidak ingin menikahinya kecuali untuk waktu tertentu niscaya ia tidak mau menikah dengannya, demikian pula keluarganya.

Sebagaimana ia tidak rela seseorang menikahi putrinya yang berniat akan menceraikannya apabila kebutuhannya telah selesai. Maka orang tua mana yang rela anak nya di perlakukan seperti itu? Ini menyalahi iman, berdasarkan hadits yang berbunyi:

قال رسول الله
(لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak beriman (yang sempurna) seseorang kamu sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang disukainya untuk dirinya."[2]

Dan karena saya mendengar bahwa sebagian orang menjadikan pendapat ini sebagai hukum pada perkara yang tidak ada seorangpun yang membolehkan, yaitu mereka pergi ke suatu negeri hanya untuk menikah saja, mereka pergi ke negeri ini untuk menikah kemudian menetap bersama istrinya ini selama beberapa waktu tetapi dia berniat bahwa perkawinannya hanya untuk sementara waktu kemudian ia pulang. Maka ini merupakan larangan besar dalam masalah ini. Maka meninggalkan hal tersebut diatas adalah utama karena mengandung penipuan dan karena merugikan pihak perempuan, dan karena manusia adalah bodoh serta mayoritas manusia tidak tertahan untuk melanggar larangan Allah subhanahu wa ta’ala.

Syaikh Ibnu al-Utsaimin – Fatawa Mar`ah hal. 115-116.


Pertanyaan 2: Sebagian kaum muslimin ada yang pergi untuk belajar dan yang lainnya ke luar negeri, bolehkah ia menikah dengan niat talak? Apakah perbedaan antara nikah tersebut diatas dan nikah mut'ah? Saya mengharapkan penjelasan tentang hal ini, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi taufik kepadamu.

Jawaban 2: Menikah di luar negeri mempunyai bahaya yang besar, oleh karena itu, tidak boleh safar ke luar negeri kecuali dengan beberapa syarat penting, dan karena safar ke luar negeri bisa membawa kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maksiat kepada -Nya seperti meminum arak, berzinah dan berbagai perbuatan keji lainnya. Karena alasan ini, para ulama berfatwa haram safar ke negeri kufur, karena mengamalkan hadits:

قال رسول الله 
(أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ)

"Aku berlepas diri dari setiap muslim yang menetap di tengah-tengah orang kafir." [3] maka menetap di antara mereka sangat berbahaya, sama saja untuk rekreasi, atau belajar, atau berdagang, atau keperluan lainnya. Para pelajar dari tingkat SMA dan SMP, atau belajar di universitas di luar negeri berada dalam bahaya besar. Negara harus menyediakan sarana pendidikan di dalam negeri dan tidak mengijinkan mereka safar ke luar negeri, karena mengandung bahaya besar.

Baca juga : Adab ketika Bepergian atau Safar  

Dari perbuatan itu muncul bahaya yang sangat banyak seperti murtad dan menganggap remeh perbuatan maksiat, seperti zinah, minum arak dan yang lebih berat dari itu adalah meninggalkan shalat. Sebagaimana sudah jelas bagi orang yang memperhatikan orang yang safar ke luar negeri kecuali yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka sangat sedikit. Wajib menghalangi mereka dari hal itu dan tidak boleh safar kecuali orang-orang yang dikenal kuat agama, iman, dan ilmunya, dan keutamaannya apabila untuk dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala atau untuk keperluan khusus yang dibutuhkan negara Islam.

Kepada orang yang safar dan dikenal punya ilmu dan iman, harus tetap istiqamah sehingga ia berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala berdasarkan ilmu yang ia dalami dan dikirim karenanya. Dan apabila ada ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan dan tidak ada yang mengajarkannya dan tidak bisa mendatangkan orang yang bisa mengajarkannya, maka hendaknya yang diutus adalah orang yang dikenal taat beragama, iman yang kuat, berilmu dan mempunyai keutamaan-keutamaan seperti yang telah kami sebutkan.


Adapun menikah dengan niat talak, maka ada perbedaan pendapat di antara para ulama: di antara mereka ada yang membenci hal itu seperti Auza'i dan jama'ah, dan mereka berkata: sesungguhnya ia menyerupai mut'ah, maka ia tidak boleh menikah dengan niat talak menurut pendapat mereka. Dan mayoritas ulama berpendapat –seperti yang dikatakan al-Muwaffaq Ibnu Quddamah dalam al-Mughni[4]: kepada bolehnya hal itu apabila niatnya adalah di antara dia dan Rabb-nya saja dan bukan syarat. Seperti ia safar untuk belajar, atau pekerjaan yang lain dan merasa khawatir terhadap dirinya, maka ia boleh menikah sekalipun ia berniat menceraikannya apabila tugasnya sudah selesai. Ini adalah pendapat yang kuat –apabila hal itu di antara dia dan Rabb-nya saja, tanpa syarat, tanpa memberitahukan istri dan tidak pula walinya. Mayoritas ulama berkata: tidak mengapa dengan hal itu –seperti telah dijelaskan- dan bukan termasuk nikah mut'ah, karena hanya di antara dia dan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada persyaratan dalam hal itu.

Adapun nikah mut'ah: ia mengandung syarat selama satu bulan, atau dua bulan, atau setahun, atau dua tahun di antara dia dan keluarga istri, atau di antara dia dan istri. Nikah ini dinamakan nikah mut'ah, dan hukum haram secara ijma' dan tidak ada yang membolehkan kecuali rafhidhah. Hukumnya boleh di permulaan Islam kemudian dinasakh dan diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala hingga hari kiamat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits Nabi e.

Adapun ia menikah di negari yang dia safar untuk belajar, atau sebagai duta besar, atau karena sebab yang lain yang ia boleh safar ke negeri kafir –maka ia boleh menikah dengan niat talak apabila ia ingin kembali seperti yang telah dijelaskan apabila ia ingin menikah karena khawatir terhadap dirinya. Akan tetapi meninggalkan niat ini lebih utama karena berhati-hati terhadap agama dan keluar dari perbedaan pendapat para ulama. Dan karena ia tidak membutuhkan niat ini, dan karena pernikahan tidak dilarang bercerai apabila ia melihat kebaikan dalam hal itu, sekalipun ia tidak berniat saat menikah.

Syaikh Bin Baz –Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah 5/41-43.


Pertanyaan 3: Banyak terjadi di kalangan anak muda trend safar ke luar negeri untuk menikah dengan niat talak. Dan nikah adalah tujuan dalam safar karena berpegang terhadap fatwa dalam masalah ini. Kebanyakan orang memahami fatwa tersebut secara keliru, bagaimanakah hukumnya?

Jawaban 3: Nikah dengan niat talak adalah menikah dalam batas waktu tertentu, dan menikah yang ditentukan masanya adalah pernikahan yang batil, karena ia adalah nikah mut'ah dan mut'ah diharamkan secara ijma'. Menikah yang benar adalah: bahwa ia menikah dengan niat tetap berada dalam ikatan perkawinan. Jika istrinya cocok baginya dan sesuai niscaya ia tetap bersamanya dan jika tidak ia menceraikannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Qsal-Baqarah:229)

Baca juga : Adab ketika Berziarah ke Masjid Nabawi  

Wabillahittaufiq, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa 18/448-449.


[1] HR. Al-Bukhari 1 dan Muslim 1907.
[2] Al-Bukhari 13 dan Muslim 45.
[3] HR. Abu Daud 2645, at-Tirmidzi 1604, ath-Thabrani dalam al-Kabir 2/303 (2264) dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 2304.
[4] 7/137 dengan semisalnya.

Posting Komentar untuk "Bolehkah Menikah dengan Niat Cerai (Nikah Mut'ah)?"