Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kitab Hadits vz Kitab Fiqih


Manfaat apa yang kita dapatkan dari kitab hadits baik yang jami' atau pun yang ahkam setelah fiqih mazhab terbentuk?

Apakah sebagai rujukan saja untuk diketahui dan bila berbeda dengan kesimpulan akhir suatu amalan mazhab, diberikan catatan saja mengapa ia tidak dijadikan pegangan?

Baca juga : Tragedi Bulughul Maram

Ini karena karya hadits banyak tercipta setelah imam2 mazhab menyempurnakan bangunan mazhabnya.

JAWABAN

Konsentrasi ilmu fiqih dan ilmu hadits itu berbeda.

Ilmu fiqih bertujuan menggali Al-Quran dan Hadits serta sumber hukum lainnya untuk disimpulkan (diistimbath) menjadi produk hukum.

Hasil produk hukum fiqih itu ada 5 yang dasar, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

Sedangkan ilmu hadits, khususnya ilmu naqd (kritik) sanad hadits, tujuannya bukan menghasilkan produk hukum, tapi memeriksa kualitas sanad periwayatan.

Jelas kan perbedaannya?

Ya tujuannya bukan menarik untuk kesimpulan hukum, tapi memastikan keshahihannya saja.

Sampai disini semoga tidak rancu dan tidak tertukar.

Ilmu hadits itu akan menjawab pertanyaan seputar : Apa benar bahwa perkataan itu datang dari mulut Rasulullah SAW? Apa benar perbuatan itu dikerjakan oleh Rasulullah?

Jawabanya sebatas ya dan tidak, bukan wajib atau tidak wajib.

Kita masuk ke contoh yang sederhana ya.

Misalnya diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW beristinja' pakai batu.

Masing-masing ilmu akan bekerja di masing-masing kaplingnya.

Peranan ilmu hadits adalah memastikan kebenaran dan validitas informasi tersebut. Kalau memang iya dan terkonfirmasi valid bahwa Beliau SAW melalukannya, ya sudah selesai sampai disitu.

Peranan ilmu fiqih adalah menentukan fatwa hukumnya, apakah jadi wajib, atau jadi sunnah, atau pun jadi mubah.

Cadanya informasi yang sudah valid itu diproses, dianalisa, dicermati, termasuk juga dikomparasikan dengan sekian banyak informasi lain, baik dengan sesama hadits serupa, atau bahkan dengan Al-Quran, ijma', qiyas, mashalil mursalah, istihab, istihsan, qaul shahabi, amalu ahlil madinah, 'urf, saddudz-dzari'ah dan lainnya.

Baca juga : Bermadzhab dalam Pandangan NU dan Muhammadiyah 

Mereka yang paham, tentu tidak akan pakai kitab hadits untuk menentukan hukum fiqih. Alat yang digunakan tidak sesuai.

Ibaratnya menebang pohon pakai silet. Kurang sesuai meski silet itu tajam. Tapi tidak pas untuk menenang pojon jati.

Manfaat Kitab Hadits Ahkam

Sampai disini saya belum menjawab pertanyaan di atas. Kalau sudah ada kitab fiqih, lantas buat apalagi para ulama hadits menyusun kitab hadits?

Sejak awal di masa kenabian bahkan di masa shahabat, hadits-hadits itu memang belum ditulis di atas media penulisan.

Tidak seperti Al-Quran yang setiap turun ayatnya langsung ditulis. Nabi SAW langsung memerintahkan untuk menuliskan ayat-ayat Al-Quran.

Ada team khusus yang Nabi SAW angkat sebagai penulis wahyu. Sehingga urusan penulisan Al-Quran sudah selesai sejak masa yang lebih awal.

Berbeda dengan penulisan hadits yang waktunya sedikit agak terlambat. Maka di masa awal, hadits-hadits itu tersimpan dalam hafalan para shahabat, tabi'in, tabiut-tabi'in, dan setelrusnya.

Oleh karena itulah di dalam ilmu hadits kita mengenal gelar al-hafizh, yaitu para ahli hadits yang punya kemampuan menghafal begitu banyak hadits.

Dihafal?

Ya, dihafal luar kepala. Sebut misalnya Imam Al-Bukhari yang disebut-sebut menghafal 50 ribu hadits.

Sekedar perbandingan, kalau Al-Quran sudah distandarisasi penulisannya sejak masa Khalifah Utsman, maka kitab hadits baru di masa Az-Zuhri. Bahkan kitab hadits yang sampai ke kita di masa sekarang ini paling jauh kitabnya Imam Malik yaitu Al-Muwaththa'.


Jadi wajar kalau lewat masa 4 imam mazhab, kitab-kitab hadits masih ditulis para ulama. Sebab mereka masih ingin terus mendokumentasikan hadits-hadits itu. Apa yang mereka hafalkan dari guru mereka, lalu mereka tuliskan di atas kertas.

Bahkan Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) juga menyusun hadits 40 Arabain atau Riyadhus-Shalihin misalnya, padahal Beliau hidup di masa yang jauh setelah mazhab-mazhab berdiri.

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) juga masih menuliskan kitab hadits Bulughul Maram, padalah di masanya fiqih 4 mazhab sudah establish dan matang.

Terus buat apa?

Kalau Bulughul Maram yang hanya 1500-an hadits, tujuannya disusun tentu bukan untuk membangun mazhab fiqih. Sama sekali tidak. Apalagi Beliau hanya mencantumkan matan saja, tanpa menganalisanya dengan kritik sanad.

Lucunya lagi selain tidak ada kajian kritik sanadnya, secara lahiriyah hadits-hadits ahkam yang termuat di dalamnya justru saling bertentangan. Apa yang diistilahkan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan ikhtilaful hadits.

Maka akan jadi lucu dan jenaka ketika ada orang di masa berikutnya ingin membangun mazhab fiqih pakai hanya berbekal dengan kitab Bulughul Maram.

Baca juga : Belajar Ilmu Waris, Dalil dari Hadist dan Alquran

Ini namanya terlalu menyederhanakan masalah. Dikiranya kalau punya pabrik peleburan logam lantas langsung bisa bikin industri pesawat terbang. Benar sih pesawat terbang itu terbuat dari logam, bukan dari kayu, tapi logamnya tidak asal logam. Tapi harus spesifik.

Lagian, kalau cuma logam doang, tentu tidak bisa terbang. Dari mana tenaga pendorongnya? Pakai bahan bakar apa untuk mesinnya? Bagaimana aerodinamika untuk menaikkan dan menurunkan pesawat? Bagaimana biar tahu arah dan navigasi?

Pesawat terbang itu kompleks, bukan asal punya logam lantas bisa bikin pesawat terbang.

Posting Komentar untuk "Kitab Hadits vz Kitab Fiqih"